Negara Bagian Rakhine di bagian barat Myanmar adalah salah satu bagian kunci dalam menentukan arah perang sipil yang telah berlangsung sejak kudeta militer Februari 2021.
Salah satu tantangan militer terbesar bagi pemerintah militer Myanmar adalah kelompok bersenjata etnis Arakan, Arakan Army (AA), yang bertujuan memperjuangkan otonomi dan hak-hak etnis Arakan di Rakhine. AA hampir membebaskan seluruh wilayah negara bagian ini dan juga aktif di wilayah lain di Myanmar. Namun, kemajuan mereka belakangan ini melambat.
Di saat yang bersamaan, Rakhine dilanda bencana kemanusiaan yang mendapat perhatian internasional sangat minim. Beritanya dilaporkan secara terputus-putus, mirip dengan laporan perang sipil di Sudan. Pada tahun 2024, Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) menyatakan: "Rakhine berada di ambang bencana yang belum pernah terjadi sebelumnya."
Yang tidak kalah penting, situasi di Rakhine berdampak besar pada nasib masyarakat Rohingya. Sekitar 650.000 orang dari minoritas muslim ini, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), melarikan diri ke Bangladesh karena pembersihan etnis oleh militer Myanmar, terutama pada tahun 2016/2017. Human Rights Watch melaporkan bahwa saat ini sekitar 630.000 Rohingya masih tinggal di Rakhine, sebagian besar di utara atau di kamp-kamp sekitar ibu kota Sittwe.
Blokade perbatasan dalam perang multiarah
Situasi di Rakhine sangat sulit bagi semua penduduk. Negara bagian ini selalu termasuk wilayah paling tertinggal di Myanmar, menghadapi kemiskinan, infrastruktur buruk, dan ketegangan internal. Setelah kudeta militer tahun 2021, sempat ada gencatan senjata antara junta dan AA. Namun, sejak pertempuran kembali memanas pada tahun 2023, Rakhine menjadi salah satu medan perang utama dalam perang sipil Myanmar.
Para pihak konflik terlibat dalam perang multifront yang terus berlangsung. Di selatan, timur, dan sekitar wilayah Rakhine yang masih dikuasai junta, AA bertempur melawan militer, dengan kerugian besar dalam upaya gagal merebut pelabuhan laut dalam di Kyaukphyu. Di utara, di mana militer dikalahkan akhir 2024, pertempuran dengan milisi Rohingya terus terjadi.
Saat ini, negara bagian tersebut sebagian besar terputus dari dunia luar. Militer Myanmar memblokir semua jalur ke daratan inti Myanmar dan secara rutin membombardir target di Rakhine, menewaskan banyak warga sipil. Jalur menuju India tertutup karena pemerintah New Delhi menutup perbatasan akibat epidemi kolera. Bangladesh juga menutup perbatasan pada Juli tahun ini. Milisi Rohingya beroperasi di perbatasan Bangladesh–Myanmar dan bertempur melawan AA.
Kini, masyarakat berusaha bertahan hidup di Rakhine yang terisolasi. Menurut UNDP, pada November 2025 terdapat sekitar 460.000 pengungsi internal. Sementara United League of Arakan (ULA), sayap politik perlawanan Arakan, menyebut jumlahnya 600.000 kepada DW. Angka-angka ini sulit diverifikasi secara independen, tetapi dengan total populasi sekitar 3,6 juta, berarti sekitar satu dari lima orang terpaksa meninggalkan rumah dan desanya.
Produksi beras di Rakhine, yang sebelumnya juga diekspor ke wilayah lain di Myanmar dan Bangladesh, merosot drastis. Harga beras dan minyak goreng sangat fluktuatif, dan sejak 2023 kadang naik sepuluh kali lipat, demikian menurut UNDP. ULA mengatakan kepada DW: "Tantangan utama untuk bertahan hidup masyarakat tetap akses terhadap kebutuhan dasar, obat-obatan, dan produk sekunder seperti minyak goreng, bahan bakar, dan bensin."
Kejahatan perang sulit dilacak
Semua pihak—junta militer, AA, dan milisi Rohingya—salih menuduh pelanggaran hak asasi manusia, pembantaian, kejahatan perang, dan teror.
Tidak diragukan bahwa kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh semua pihak. Tidak diragukan pula bahwa pemboman target sipil adalah kejahatan perang yang dilakukan junta, karena hanya mereka yang memiliki pesawat tempur. Terakhir, militer mengebom sebuah rumah sakit di Mrauk-U pada Hari Hak Asasi Manusia Internasional, menewaskan setidaknya 30 orang.
Namun, dalam kasus lain, sering sulit untuk merekonstruksi peristiwa dan menentukan siapa yang bertanggung jawab. Misalnya, pembakaran desa dengan bukti satelit terdokumentasi baik, tapi siapa dan kapan membakar sering sulit dipastikan. Media sosial juga sering menyebarkan kekejaman nyata maupun palsu tanpa seleksi, sehingga sulit mendapat gambaran akurat.
Banyak hal juga tetap tidak jelas di lapangan. Junta bersifat sebagai musuh eksternal, sehingga front antara mereka dan AA relatif jelas. Konflik antara milisi Rohingya dan AA, sebaliknya, lebih internal dan menimbulkan ketidakstabilan di Rakhine, yang sering sulit dipetakan.
Tanah subur bagi kekerasan tanpa batas
Sejarawan dan peneliti di Deutsche Hochschule der Polizei, Christin Pschichholz, yang lama meneliti sejarah militer dan sejarah budaya kekerasan, menyebut faktor-faktor yang memicu kejahatan perang dan kekerasan ekstrem.
"Pertanyaannya selalu, kapan warga sipil terdampak dan dalam bentuk apa. Dalam perang sipil, sering terjadi pertempuran di wilayah padat penduduk, di mana kombatan bisa berbaur dengan warga sipil," ujarnya. Faktor situasional seperti kekurangan pasokan, cuaca buruk, dan medan sulit makin memperburuk.
Perasaan terancam yang kuat dan ketidaksetaraan kekuatan juga dapat meningkatkan brutalitas konflik. "Jika kombatan merasa mereka berjuang untuk bertahan hidup, pelanggaran batas menjadi lebih mudah dibenarkan," ujar Pschichholz.
Faktor ideologis, agama, dan politik sangat berpengaruh. "Bagaimana lawan dipersepsikan? Apakah terjadi dehumanisasi?" Dalam kasus tersebut, ancaman sering diperluas ke seluruh kelompok, bukan hanya individu lawan.
Di Rakhine, semua faktor ini terpenuhi. Perang sipil berlangsung dengan front yang sering tidak jelas. Kekurangan pasokan dan perasaan terancam, terutama bagi Rohingya, sangat nyata. Terdapat beberapa ketidaksetaraan kekuatan: junta militer lebih unggul dibanding AA (mempunyai udara dan laut, dibantu senjata dari Cina, Rusia, dan Belarus), sedangkan AA lebih kuat dibanding milisi Rohingya. Ketegangan etnonasionalistik dan agama juga sudah berlangsung lama.
Mengatur kehidupan
United League of Arakan (ULA) berusaha, dalam kondisi sulit ini, memenuhi kebutuhan masyarakat, meredakan ketegangan, dan mengatur kehidupan sehari-hari sejauh mungkin di wilayah perang. Namun, sering gagal karena Rakhine dan Rohingya saling curiga, menganggap pihak lain selalu berniat jahat.
Contohnya setelah AA menguasai Rakhine utara, ULA ingin memulai kembali pendidikan. Mereka meminta guru Rohingya kembali mengajar. Karena ULA tidak mampu membayar guru akibat keterbatasan dana, mereka menyarankan guru meminta biaya dari orang tua siswa. Guru Rohingya menolak, merasa dipaksa mengeksploitasi sesama yang kekurangan. Rakhine menafsirkan ini sebagai penolakan dan penghinaan, karena guru mereka juga tidak dibayar.
Kedua pihak punya alasan yang masuk akal, tapi itu tidak otomatis berarti benar. Bisa juga interpretasi lain: Rohingya terlalu kesulitan untuk ikut membangun tanpa bantuan. Sementara dari sisi positif, ULA benar-benar ingin memperbaiki hubungan dan melibatkan Rohingya dalam pembangunan, yang juga strategis karena AA tahu peluang mempertahankan Rakhine meningkat jika ketegangan internal berkurang.
Keluar dari lingkaran setan
Interpretasi positif tidak berarti membenarkan kejahatan yang dilakukan AA atau milisi Rohingya. Yang penting adalah membedakan fakta agar konflik internal Rakhine bisa ditenangkan. "Keluar dari lingkaran setan hanya mungkin dengan kesabaran panjang, empati, dan membangun kepercayaan. Perlu melihat dan mengakui penderitaan pihak lain. Tapi banyak orang mengalami trauma berat sehingga hampir tidak mampu merasakan trauma pihak lain," jelas Pschichholz.
Di situasi genting ini, setiap tindak kekerasan atau rumor bisa mengganggu upaya rekonsiliasi dan justru memperpanjang perang—yang berlangsung tidak hanya di medan perang, tetapi juga di pikiran masyarakat.
Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Jerman
Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih
Editor:Yuniman Farid
Simak juga Video: Penggerebekan Besar-besaran Markas Scam di Myanmar, 1.600 WNA Dibekuk
(ita/ita)