Analisis DNA Ungkap Fakta Kesehatan Hitler

Analisis DNA Ungkap Fakta Kesehatan Hitler

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Senin, 17 Nov 2025 16:45 WIB
Jakarta -

80 tahun setelah kematian Adolf Hitler, sebuah dokumenter baru dari stasiun televisi publik Inggris Channel 4 mengklaim mengungkap fakta medis tentang diktator tersebut. "Hitler's DNA: Blueprint of a Dictator" juga berusaha menjelaskan perilakunya lewat analisis genetik. Namun, dari sudut pandang ilmiah, klaim ini sangat diragukan.

Sindrom Kallmann, kelainan langka sang diktator

Berdasarkan hasil analisis DNA, Hitler menderita sindrom Kallmann, kelainan genetik langka yang menyebabkan produksi hormon seks rendah. Dampaknya pubertas terhambat atau tertunda, kadar testosteron rendah, indra penciuman lemah (anosmia), testis tidak turun ke kantung zakar, dan kemungkinan memiliki ukuran penis sangat kecil atau kelainan genital lainnya.

Tentara Inggris sudah mengejek kondisi fisik Hitler sejak 1939 lewat lagu satir "Hitler Has Only Got One Ball." Temuan DNA ini sejalan dengan catatan medis Hitler di Penjara Landsberg, tempat ia dipenjara pada 1924 setelah percobaan kudeta pemerintahan yang gagal. Saat itu, dokter penjara mendiagnosis "kriptorkidisme sisi kanan," artinya testis kanan Hitler tidak turun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dokter pribadi Hitler, Theodor Morell, juga diketahui secara rutin memberikan suntikan testosteron sejak 1944. Hal ini turut mendukung teori sindrom Kallmann.

Risiko gangguan mental dalam DNA Hitler

Dokumenter yang akan tayang akhir bulan November ini juga menyebut DNA Hitler menunjukkan kemungkinan tinggi ADHD, perilaku autistik, skizofrenia, dan kecenderungan antisosial.

ADVERTISEMENT

Ada beberapa sumber yang bisa diverifikasi dan pengamatan saksi sezaman yang menunjukkan "ketidakstabilan mental" Hitler. Dalam buku rilisan tahun 2013 berjudul "A First-Rate Madness: Uncovering the Links Between Leadership and Mental Illness", psikiater keturunan Iran-Amerika Nassir Ghaemi yang juga profesor psikiatri di Tufts University School of Medicine dan pengajar psikiatri di Harvard Medical School, meneliti ketidakstabilan mental pada pemimpin sejarah, mulai dari Abraham Lincoln hingga musuh Hitler asal Inggris, Winston Churchill. Hitler menjadi satu-satunya contoh negatif.

Ghaemi menilai temuan DNA ini "ilmiah" dan meyakini bahwa Hitler menderita manik depresi. "Sifat manik meningkatkan kreativitas dan ketahanan, sementara gejala depresi meningkatkan empati dan realisme. Semua itu adalah kekuatan bagi seorang pemimpin. Keterampilan kepemimpinan ini bisa digunakan dalam orientasi politik apa pun, baik otokratis seperti Hitler maupun demokratis seperti Churchill," kata Ghaemi, yang tidak terlibat dalam pembuatan dokumenter tersebut, kepada DW.

Menurut Ghaemi, "ketidakstabilan mental" Hitler memburuk sejak 1937 karena ia mendapat amfetamin melalui infus setiap hari untuk mengobati depresinya. Penilaian ini juga didukung oleh sumber-sumber sejarah.

Ghaemi menambahkan bahwa kemungkinan Hitler menderita sindrom Kallmann bisa menjelaskan mengapa ia tampak tidak memiliki libido tinggi, berbeda dengan kebanyakan orang dengan sifat manik, meskipun ia menunjukkan banyak ciri manik lainnya seperti bicara banyak, energi fisik tinggi, kebutuhan tidur rendah, dan harga diri yang tinggi. Namun, semua hal ini hanya bersifat indikasi, bukan bukti.

Interpretasi hubungan antara genetik dan perilaku yang dipertanyakan

Meskipun penilaian dan temuan medis baru ini membantu memahami psikologi Hitler, mengaitkan perilaku seseorang hanya dari analisis genetik dan tes skor risiko poligenik tidak tepat secara ilmiah.

Tingkat keparahan gangguan mental tergantung pada gabungan rumit antara genetika, lingkungan, sejarah hidup, dan pengalaman individu. Tes genetik yang membutuhkan penilaian menyeluruh berdasarkan gejala, lingkungan, dan diskusi dengan orang yang bersangkutan tidak bisa digunakan untuk mendiagnosis penyakit mental.

"Melompat dari studi biologi ke studi perilaku adalah langkah besar," kata psikolog Inggris Simon Baron-Cohen dalam dokumenter itu.

Para ahli genetika dan psikolog yang terlibat dalam pembuatan dokumenter mengakui bahwa menarik kesimpulan tentang perilaku seseorang hanya dari kemungkinan kondisi genetiknya tidak realistis, tetapi mereka tetap berspekulasi mengenai diagnosis atau pola perilaku.

Spekulasi ini kini menimbulkan masalah bagi ahli genetika dan arkeolog Inggris-Kanada, Turi King, yang memimpin Milner Centre for Evolution di University of Bath dan dikenal lewat analisis DNA jenazah Richard III yang ditemukan terkubur di sebuah parkiran di Leicester.

King, yang direkrut oleh produksi dokumenter Hitler itu, ingin menerbitkan temuan DNA ini di jurnal medis untuk telaah sejawat, tapi perusahaan produksi tidak mau menunggu proses akademik panjang, dan King akhirnya setuju. Karena keputusan itu, reputasi akademiknya kini dipertaruhkan.

Analisis genetik ini menepis setidaknya satu rumor yang sudah ada bertahun-tahun lamanya, yaitu dugaan bahwa Hitler memiliki darah Yahudi. Pada 2022, Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, sempat mengklaim Hitler memiliki kakek Yahudi. Namun, analisis DNA kini menunjukkan bukti genetik yang jelas bahwa Hitler berasal dari Austria-Jerman.

Dari darah di sofa bunker

Menurut dokumenter, material DNA yang diperiksa berasal dari sofa bernoda darah yang diduga menjadi tempat Hitler menembak dirinya di bunkernya di Berlin, 30 April 1945.

Saat itu, Kolonel Roswell P. Rosengren, petugas pers Angkatan Darat AS, mengambil sepotong kain sofa sebagai suvenir dari "bunker Fhrer" tempat Hitler diduga bunuh diri. Kini, kain tersebut disimpan di Gettysburg Museum of History, Pennsylvania. Kisah ini masuk akal karena ada beberapa foto yang menunjukkan Hitler duduk di sofa itu, serta tentara Rusia dan Amerika yang memotong kain dari sofa tersebut.

Yang lebih bermasalah adalah penentuan asal-usul DNA tersebut. Film ini mengklaim keaslian sampel DNA diverifikasi dengan membandingkannya dengan sampel dari kerabat Hitler. Namun, siapa kerabat itu dan apakah mereka memberikan izin untuk analisis, masih belum jelas.

Risiko stigmatisasi

Para peneliti sadar bahwa menghubungkan autisme dan ADHD dengan Hitler itu bermasalah. Psikolog Simon Baron-Cohen menjelaskan bahwa menafsirkan hasil analisis genetik seperti ini berisiko menimbulkan stigma, karena bisa membuat orang berpikir bahwa semua orang dengan gangguan mental sama seperti seorang pembunuh massal, padahal jelas itu tidak benar.

Mengaitkan Hitler dengan gangguan mental berisiko membuat orang menganggap tindakannya yang kejam bisa dimaklumi karena faktor genetik. Ghaemi menjelaskan: "Ini menjadi perhatian konstan di kalangan akademisi dan aktivis Jerman tertentu. Keberadaan atau ketiadaan gangguan mental tidak menentukan apakah seseorang bertanggung jawab secara moral atau hukum atas kejahatan atau tindakan jahat."

Mitos ras unggul Arya

Ironisnya, menurut hukum Nazi yang dibuatnya, Hitler seharusnya dianggap "cacat genetik" dan "tidak layak hidup" sehingga seharusnya menjadi korban dari program euthanasia yang digagasnya sendiri.

Menurut apa yang disebut Nazi sebagai "doktrin rasial", nasib manusia ditentukan oleh garis keturunan. "Kemampuan mengambil keputusan yang baik atau buruk adalah sifat karakter yang ditentukan oleh darah," tulis Hitler dalam bukunya Mein Kampf.

Menurut doktrin Hitler, orang dengan keturunan "murni" dianggap mampu mengambil keputusan yang "benar" dan menjaga persatuan bangsa. Sebaliknya, percampuran keturunan dianggap menyebabkan keputusan yang "salah" dan merusak peradaban. Hitler menerapkan pandangan ini di wilayah jajahannya selama 12 tahun pemerintahannya.

Dokumenter Channel 4 berjudul Hitler's DNA: Blueprint of a Dictator akan tayang mulai 25 November 2025.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman

Diadaptasi oleh Pratama Indra

Editor: Hani Anggraini

Lihat juga Video: Israel Klaim Temukan Buku Autobiografi Hitler di Sarang Hamas

(ita/ita)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads