Benarkah Tuduhan Adanya 'Genosida Kristiani' di Nigeria?

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Rabu, 22 Okt 2025 12:05 WIB
Jakarta -

Di Nigeria, di barat Afrika, serangan demi serangan menyulut api tuduhan adanya "genosida kristiani" di wilayah tengah dan utara negeri. Pemengaruh media sosial, tokoh politik hingga organisasi lokal dan dunia ramai-ramai mengecam pembunuhan massal terhadap umat Kristen.

Di platform media sosial X, senator konservatif Amerika Serikat Ted Cruz menuduh "kelompok jihadis Islam" sebagai dalang, dan mendesak rancangan sanksi terhadap pemerintah Nigeria.

Pemerintah di Abuja membantah tuduhan tersebut.

Menteri Informasi dan Orientasi Nasional, Mohammed Idris, mengakui bahwa Nigeria memang menghadapi krisis keamanan, tapi bukan perang agama. Menurutnya, klaim adanya "pembantaian sistematis dan disengaja terhadap umat Kristen adalah tidak akurat dan berbahaya."

Situasi keamanan di negeri di jantung Afrika itu memburuk sejak bertahun-tahun, khususnya di wilayah utara yang mayoritas muslim. Sekitar 10.000 orang tewas dan ratusan lainnya diculik sejak Bola Tinubu menjadi presiden Nigeria pada pertengahan 2023 lalu. Pertumpahan darah akhirnya memaksa hingga tiga juta orang mengungsi.

Negara bagian Benue dan Plateau di wilayah tengah Nigeria adalah kawasan yang paling terdampak. Di sana, kelompok bersenjata membunuh dan menculik warga, serta menghancurkan bangunan, sekolah, klinik, dan tempat ibadah.

Baik analis maupun penyintas melaporkan bahwa kekerasan bukan semata-mata oleh faktor agama, tetapi acap dipicu oleh sengketa lahan, perubahan iklim, kemiskinan, kemiskinan, serta lemahnya tata kelola pemerintahan.

Perebutan lahan subur adalah sumber konflik

Di Nigeria, gelombang kekerasan tak berhulu satu. Di Timur Laut, kelompok teror Boko Haram masih membantai warga sejak dua dekade. Di bagian Barat Laut, geng kriminal dan penculik menyasar penduduk di pedalaman.

Adapun di sabuk tengah Nigeria, negara bagian Benue, Plateau, Nasarawa, dan Kaduna Selatan, petani dan penggembala baku bunuh berebut lahan subur.

Pada bulan Juli, sekelompok orang menyerbu desa pertanian Yelwata di Benue, menewaskan sedikitnya 160 orang. Perebutan wilayah subur menjadi titik konflik di sabuk tengah Nigeria. Para petani yang sebagian besar Kristen dan para kelompok peternak Fulani yang mayoritas Muslim memiliki sejarah panjang sarat pertikaian dan bentrokan.

Serangan dan balasan dari kedua pihak telah berlangsung selama puluhan tahun dan semakin mematikan. Komunitas petani Kristen menjadi pihak yang paling dirugikan lantas menuduh pemerintah telah gagal menekan konflik ini, meremehkan besarnya skala kekerasan ini, beserta konflik etnis dan perebutan wilayah di dalamnya.

Fr. Atta Barkindo, Direktur Eksekutif The Kukah Centre yang berbasis di Abuja, menyakini narasi "genosida kristiani" berakar dari ketidakmampuan pemerintah melindungi warganya.

"Apa yang terjadi di Nigeria, saya tidak ingin perdebatan ini mengaburkan masalah yang sesungguhnya, adalah masalah cara berpikir," kata Barkindo kepada DW.

"Ini adalah persoalan sejarah. Menurut saya, tidak ada niat sengaja dari pemerintah Nigeria untuk membunuh umat Kristen atau menggunakan aparat negara untuk melakukannya. Saya percaya yang ingin disampaikan orang adalah kekecewaan terhadap kegagalan pemerintah melindungi warganya. Dan ketika sebagian besar korban di sini adalah umat Kristen, persepsi tersebut secara alami muncul."

Kisah para korban

Pada suatu Minggu malam yang tenang di bulan Mei, Comfort Isfanus sedang menyiapkan makan malam di dapur kecilnya di daerah Bokkos, Negara Bagian Plateau, ketika ia mendengar langkah kaki tergesa di luar rumah.

Suaminya, Danladi, berlari masuk ke halaman, terengah-engah. Ia baru saja mendengar kabar bahwa sekelompok pria bersenjata sedang menuju ke komunitas mereka. Ia lantas menyuruh Comfort pergi membawa anak-anak ke tempat aman, kisah Comfort kepada DW.

"Setelah kami melarikan diri, ia tinggal di rumah bersama adiknya. Mereka (para penyerang) menemui mereka di rumah dan membunuh mereka. Rumah kami dibakar habis dan sekarang kami menderita tanpa makanan, tanpa tempat berlindung untuk anak-anak. Tidak ada makanan, tidak sekolah, tidak ada pekerjaan."

Karimatu Aminu juga kehilangan suaminya. Pada suatu Kamis pagi di akhir Desember, ia mengantar suaminya ke ladang. Sang suami memintanya mampir ke pasar untuk membeli beberapa kebutuhan. Itulah, kata Karimatu kepada DW, terakhir kalinya ia melihat suaminya hidup.

"Ini bukan tentang satu kelompok saja... Ketika rumah seorang peternak Fulani dibakar hari ini, besok rumah komunitas Kristen juga dibakar. Kedua pihak kehilangan keluarga juga rumah mereka," ujarnya.

Kristen dan muslim yang tidak mempercayai satu sama lain

Bagi banyak komunitas di wilayah konflik, kekerasan tidak lagi sekadar nyawa berbalas nyawa antara petani pribumi dan penggembala Fulani, tetapi juga upaya untuk mengusir mereka dari tanah sendiri.

Rasa ketidakpercayaan pribumi di Nigeria terhadap etnis Fulani tergolong tinggi. Permusuhan diyakini muncul di masa ketika gerakan Jihad Islam, yang banyak dimotori kaum Fulani, menyapu wilayah utara dan tengah Nigeria, mengguncang struktur sosial serta sistem politik setempat.

Para analis mengatakan sejarah panjang tersebut ikut diwariskan dalam konflik modern. Banyak kelompok pribumi yang dulu tidak sepenuhnya ditaklukkan — kini menafsirkan krisis yang terjadi sebagai kelanjutan dari agresi sejarah, memperdalam rasa ketidakpercayaan antar umat Kristen dan muslim.

Pada bulan Juni, pemimpin tradisional etnis pribumi Tiv di Negara Bagian Benue, James Ortese Iorzua Ayatse, menolak narasi konflik antara petani dan peternak. "Yang kami hadapi di Benue adalah invasi genosida berskala penuh yang direncanakan dengan baik, kampanye perampasan tanah oleh teroris peternak dan bandit," katanya.

Mendorong diskusi

Menurut Samuel Malik, peneliti senior di lembaga kajian pan-Afrika Good Governance Africa, akar ketidakamanan di Nigeria justru terletak pada campuran kompleks dari "kegagalan tata kelola, korupsi, kemiskinan, tekanan ekonomi akibat perubahan iklim, pemberontakan, dan kejahatan terorganisir," dan menyebutnya sebagai genosida hanya menyederhanakan kompleksitas tersebut.

Narasi seperti "genosida kristiani" justru menutupi faktor-faktor penyebab konflik yang saling tumpang tindih di negara itu, dan bisa merusak upaya perdamaian lintas agama dan komunitas.

"Narasi 'genosida kristiani' yang sebagian besar dipromosikan oleh kelompok advokasi Barat berdampak signifikan seperti sedang melabeli seseorang atau sesuatu agar bisa menghukumnya," kata Malik kepada DW.

"Narasi ini mendorong pemerintah asing, terutama Amerika Serikat, untuk menjatuhi hukuman secara moral kepada Nigeria, dimana seharusnya mereka dapat mendorong keterlibatan konstruktif berbasis bukti," jelas Malik."Hal ini juga merusak reputasi internasional pemerintah Nigeria, menggambarkan mereka seolah-olah terlibat dalam penganiayaan berbasis agama, yang akhirnya mempersulit bahkan menggagalkan upaya penanganan masalah keamanan."

Barkindo sepakat bahwa narasi tersebut dapat memperdalam perpecahan dan rasa ketidakpercayaan antar komunitas.

Namun, ia juga mengatakan bahwa narasi itu dapat membantu meningkatkan kesadaran tentang kekerasan yang terjadi,"Ini menimbulkan pertanyaan yang melampaui sekadar klaim genosida. Ini menyoroti isu-isu penting tentang keamanan dan ketidakamanan secara umum di negara ini, serta mengapa kita perlu membuka mendiskusikan hal ini," jelas direktur The Kukah Centre tersebut.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Sorta Caroline

Editor: Rizki Nugraha

width="1" height="1" />




(ita/ita)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork