Main Medsos Bikin Kecanduan Seperti Pakai Heroin?

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Rabu, 08 Okt 2025 10:16 WIB
Jakarta -

Politisi CDU Jens Spahn membandingkan efek Instagram dan TikTok pada otak dengan efek setelah menggunakan heroin. Ia lalu menuntut larangan penggunaan media sosial bagi anak-anak di bawah 16 tahun. Apakah tuntutan Spahn sekedar pernyataan politik ataukah berdasarkan keilmuan?

Penelitian dari studi yang ada menunjukkan adanya kesamaan antara penggunaan media sosial secara intensif dengan konsumsi narkoba – hal ini lantas memicu tensi perdebatan larangan sosial media.

Dalam sebuah makalah terbaru Akademi Ilmu Pengetahuan Jerman Leopoldina menunjukkan bahwa sebagian remaja di Jerman menunjukkan perilaku menyerupai kecanduan dengan hilangnya kontrol diri, mengabaikan aktivitas, serta terbeban secara psikologis - memiliki gangguan kecemasan dan depresi.

Perubahan otak: Pengaruh media sosial tidak sama dengan heroin

Secara medis, kecanduan media sosial hingga kini belum menjadi diagnosis resmi. Hal ini dikarenakan bukti ilmiah mengenai perubahan otak yang benar-benar disebabkan oleh penggunaan media sosial masih terbatas, meskipun jumlahnya terus bertambah.

Psikolog dan pakar masalah kecanduan Prof. Dr. Christian Montag yang juga mantan Kepala Psikologi Molekuler di Universitas Ulm dan Distinguished Professor di Makau, mengingatkan untuk membedakan dua kecanduan tersebut secara tepat, "Diagnosis kecanduan media sosial secara medis belum ada. Studi pencitraan otak yang menyeluruh untuk membuktikan analogi nyata dengan kecanduan heroin masih kurang. Perbandingan langsung kecanduan dengan heroin lebih menciptakan kepanikan moral (ketakutan massal) daripada menjelaskan kompleksitas masalahnya."

Montag pun menambahkan,"Itu berbahaya jika kriteria diagnosis dari kecanduan berbasis zat diterapkan pada aktivitas sehari-hari seperti penggunaan media sosial yang kini sudah menjadi hal yang rutin. Diperlukan kriteria yang jelas dan spesifik membedakan perilaku berbahaya dengan penggunaan normal."

Bagaimana jika TikTok & Co. dilarang?

Jika kebiasaan remaja bersosial media terlalu cepat dilabeli sebagai penyebab kecanduan maka hal yang sama berlaku juga untuk orang dewasa, karena banyak orang dewasa juga menghabiskan banyak waktu dengan ponsel mereka.

Larangan justru lebih menutupi masalah daripada menyelesaikannya. Remaja juga akan kehilangan kesempatan untuk belajar bertanggung jawab menggunakan media digital secara bijak dalam kehidupan sehari-hari.

Apakah gawai pintar adalah mesin candu sebesar saku?

Membandingkan sosial media dengan heroin dan melarang secara ketat mungkin berlebihan. Ilmu pengetahuan sejauh ini belum berhasil membuktikan hubungan kausal antara penggunaan media sosial oleh anak-anak dan perubahan pada otak. Apakah perubahan yang terlihat benar-benar akibat media sosial atau ada faktor lain? Status sosial ekonomi, lingkungan keluarga, masalah psikologis yang sudah ada, kurangnya istirahat, bergerak, dan faktor kepribadian bisa menjadi faktor pengganggu (konfunder) yang menyesatkan kesimpulan.

Banyak survei tentang penggunaan media sosial didasarkan laporan anak atau orang tua. Survei ini rentan terhadap kesalahan, bias, dan ingatan yang keliru. Studi pencitraan otak, misalnya dengan MRI, juga sebagian besar bersifat korelatif dan tidak bisa memastikan bahwa perubahan otak benar-benar disebabkan konsumsi media.

Namun, meski hubungan kausal belum terbukti secara tuntas bukan berarti tidak ada hubungan. Beberapa studi sudah menunjukkan bahwa media sosial bisa memengaruhi otak remaja mirip dengan narkoba: pada penggunaan intensif, area otak yang bertanggung jawab atas perasaan bahagia dan penghargaan yang mengaktifkan sistem dopamin. Bagian penting otak seperti striatum, amigdala, insula, dan korteks cingulate anterior juga berubah – area yang sama dengan yang kelainan ditunjukkan pada pecandu narkoba.

Remaja dengan masalah gangguan konsentrasi dan hiperaktifitas (ADHD) sangat berisiko - penggunaan intensif media sosial bisa memperparah kondisi mereka.

Perubahan di area otak tertentu juga telah terdeteksi lewat MRI – misalnya mengecilnya volume materi abu-abu di bagian otak yang penting untuk kontrol dan emosi. Perubahan serupa ditemukan pada pecandu narkoba seperti heroin.

Dampak psikologis sosmed: hilangnya kontrol seperti kecanduan narkoba

Studi juga menunjukkan adanya proses mirip kecanduan pada remaja dengan penggunaan media sosial yang konstan. Lama kelamaan mereka merasakan semakin sedikit "rasa senang" dari like atau pesan baru, otak menjadi tumpul dan menuntut lebih banyak rangsangan – pola khas kecanduan.

Pakar kecanduan Prof. Dr. Christian Montag menegaskan kuatnya daya tarik media sosial bagi otak remaja, "Aplikasi media sosial jelas punya daya tarik besar bagi pengguna sangat muda. Like, komentar, dan penghargaan algoritma memicu proses yang mendorong kecanduan hal ini didukung kemampuan regulasi diri yang belum matang."

Penggunaan yang berlebihan bisa menyebabkan hilangnya kontrol, keinginan untuk terus mengejar konten baru, dan mengabaikan aktivitas lain. Saat ponsel hilang, muncul keresahan atau bahkan panik – mirip gejala saat seseorang berhenti atau mengurangi konsumsi zat yang membuat kecanduan. Dampaknya bisa berupa gangguan tidur, kecemasan, hingga depresi.

Dilema politik, kecanduan atau kebebasan?

Diskusi diinisiasi politisi partai CDU, Jens Spahn, secara ilmiah memang relevan dan sangat aktual. Namun apakah larangan media sosial bagi anak di bawah 16 tahun langkah yang tepat, hal ini tetap jadi perdebatan politik dan sosial yang kontroversial.

Secara hukum, larangan sulit dilaksanakan. Digital Services Act Uni Eropa sangat membatasi langkah sepihak negara – larangan media sosial untuk remaja akan melanggar hak dasar, tidak bisa dikontrol secara teknis, serta tidak disarankan secara pedagogi.

Akademi Leopoldina juga menolak larangan total media sosial bagi anak di bawah 16 tahun. Sebaliknya menganjurkan prinsip kehati-hatian, pencegahan dan perlindungan harus diterapkan selama masih adanya ketidakpastian ilmiah. Secara kongkret mereka merekomendasikan verifikasi usia digital secara tepat, pembatasan berdasarkan usia, serta pendampingan orang tua hingga anak minimal usia 15 tahun. Selain itu, mereka juga menyerukan pendidikan media yang lebih baik dan pengembangan kompetensi digital secara terarah baik di sekolah maupun masyarakat.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman

Diadaptasi oleh Sorta Caroline

Editor: Yuniman Farid

Simak juga Video: Medsos Bagai Dua Sisi Mata Pisau Bagi Anak-Remaja


width="1" height="1" />




(ita/ita)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork