Sekitar dua tahun lalu, sebuah restoran cepat saji Subway di Uni Emirat Arab (UEA) tanpa sengaja memicu skandal nasional lewat sebuah iklan lowongan kerja. Iklan itu mengajak warga pribumi Emirat bekerja di restoran Subway untuk membuat sandwich.
Tawaran kerja tersebut sontak dianggap sebagai "penghinaan," "olok-olok," dan "serangan terhadap warga lokal." Jaksa UEA bahkan sampai mengumumkan penyelidikan atas apa yang mereka sebut sebagai "konten bermasalah."
Iklan pada Desember 2022 itu sebenarnya dipasang oleh sebuah perusahaan berbasis di Dubai, Kamal Osman Jamjoom Group, dengan niat membantu perusahaan mematuhi aturan baru UEA tentang kewajiban mempekerjakan persentase tertentu warga Emirat.
Aturan baru yang dikenal sebagai "Emiratisasi," pertama kali diperkenalkan pada 2022, menargetkan bahwa pada akhir 2026, tenaga kerja di perusahaan dengan 50 karyawan atau lebih harus terdiri dari 10% warga pribumi.
Arab Saudi memiliki aturan serupa, bahkan memperketatnya dalam dua tahun terakhir. Misalnya, perusahaan dengan 100 karyawan kini wajib memiliki setidaknya 30% tenaga kerja pribumi Saudi.
Skandal lowongan kerja Subway hanyalah satu contoh bagaimana rencana baru pengelolaan tenaga kerja di negara-negara Teluk menimbulkan gesekan, kata seorang peneliti universitas yang tinggal di UEA namun enggan disebutkan namanya karena berisiko jika mengkritik pemerintah.
"Karena ini pekerjaan layanan dengan gaji rendah, jenis pekerjaan yang biasanya tidak dilakukan warga lokal, dan karena Emirat yang menganggur umumnya minimal memiliki gelar pendidikan tinggi, maka muncul reaksi keras," jelas peneliti itu soal skandal Subway. "Reaksi itu ditujukan kepada perusahaan, bukan pemerintah, tapi sekaligus menjadi kritik tidak langsung terhadap kebijakan baru."
Kontrak sosial baru di Teluk?
Seperti dicatat para pakar di Carnegie Endowment for International Peace dalam sebuah komentar, kebijakan ekonomi semacam ini "justru merongrong kontrak sosial yang sudah ada" di negara-negara Teluk.
Di masa lalu, negara — dengan dana dari minyak — selalu menjadi penyedia utama pekerjaan, perumahan, dan berbagai tunjangan lain. Singkatnya, kontrak sosial menyebut negara mengurus rakyatnya sementara rakyat menerima model pemerintahan otoriter.
Namun dengan harga minyak yang menurun, pergeseran global dari energi fosil, serta demografi muda yang terus membesar (dan tingkat pengangguran pemuda yang tinggi), kontrak sosial itu kini sulit dipertahankan oleh negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah.
Sebagai respons, pemerintah Teluk semakin gencar mempromosikan sektor nonmigas dan non-pemerintah, mendorong warganya menjadi pengusaha, serta memangkas anggaran sektor publik.
"Ada kegelisahan yang tumbuh ketika pemerintah berusaha menggeser warga dari pekerjaan sektor publik menuju pekerjaan sektor swasta yang lebih rentan, sekaligus memangkas tunjangan negara yang didanai minyak," kata Frederic Schneider, peneliti senior non-residen di Middle East Council on Global Affairs (ME Council) yang berbasis di Qatar.
Sebagai contoh, pada Januari lalu pemerintah Saudi meluncurkan skema "golden handshake" yang mendorong tenaga kerja beralih dari sektor publik menuju swasta dengan iming-iming insentif.
Semua proyek ekonomi baru ini "juga diiringi wacana yang seakan menggambarkan pekerjaan pemerintah — pekerjaan yang dulu dijanjikan bagi orang tua dan kakek-nenek mereka sebagai bagian dari kontrak sosial — sebagai pilihan mudah, bahkan malas," tambah peneliti berbasis di UEA itu kepada DW.
Pekerja asing kini jadi 'saingan'
Dalam waktu bersamaan, negara-negara Teluk juga berupaya menjadi lebih menarik bagi tenaga kerja asing yang dibutuhkan sektor nonmigas, misalnya dengan mengubah aturan kepemilikan properti bagi warga asing, memberikan izin tinggal jangka panjang, serta melonggarkan sejumlah pembatasan sosial dan keagamaan.
UEA memulai proses ini pada pertengahan 2000-an, sementara Arab Saudi baru memulainya belakangan, dengan skema visa pekerja terampil mulai pertengahan 2025 dan izin kepemilikan properti bagi asing mulai 2026.
Saudi juga menerbitkan ultimatum pada 2021 yang menyatakan perusahaan asing tak akan mendapat kontrak pemerintah kecuali mereka memiliki kantor pusat di Saudi.
Proyek transformasi ekonomi dari atas ini menimbulkan ketegangan sosial baru karena jelas memberikan "preferensi kepada tipe tertentu pekerja asing," ujar peneliti berbasis di UEA tersebut. Dan karena warga Emirat serta Saudi didorong masuk sektor swasta, para pendatang baru semakin dipandang sebagai saingan di pasar tenaga kerja.
Peneliti itu menambahkan, gesekan sosial dan budaya pun meningkat. Warga konservatif merasa terganggu dengan langkah-langkah yang lebih ramah pada orang asing. Misalnya perdebatan soal perubahan akhir pekan tradisional dari Jumat-Sabtu menjadi Sabtu-Minggu yang lebih internasional, meningkatnya perhatian pada hari raya non-Islam seperti Natal, serta bertambahnya prostitusi dan konsumsi alkohol yang dituding sebagai dampak dari keberadaan orang asing.
"Dalam arti tertentu, pergeseran yang terjadi di UEA pada pertengahan 2000-an dipresentasikan sebagai 'kejahatan yang perlu'," kata peneliti sosiologi itu. "Misalnya, ide bahwa penjualan alkohol — yang secara tradisional dilarang di negara Islam — harus diizinkan agar orang asing mau tinggal di UEA."
"Di Arab Saudi, di mana pergeseran ini baru saja dimulai, hal-hal terlarang itu kini justru dipromosikan sebagai sesuatu yang esensial, demi menempatkan Saudi di peta dunia dan menjadikan Riyadh kota global yang menarik bagi turis dan investor asing," jelasnya.
Konflik Gaza perparah ketegangan
Di UEA, ketegangan sosial semakin diperburuk oleh konflik di Gaza, kata Schneider dari ME Council. "Di UEA, masuknya bisnis Israel — termasuk sektor keamanan — dan turis lewat normalisasi hubungan berarti negara ini menampung bisnis dan individu yang terlibat langsung dalam genosida yang tengah berlangsung di Gaza."
Awal pekan ini (2/9), Asosiasi Internasional Cendekia Genosida menyatakan Israel melakukan pembersihan etnis di Jalur Gaza, meski pemerintah di Tel Aviv bersikeras membantah.
Berbicara dengan warga negara Teluk, Schneider juga mencatat meningkatnya kekecewaan terhadap Barat secara umum, baik karena persepsi kemunafikan dan keterlibatan dalam konflik Gaza, maupun karena sekutu lama seperti AS kini dianggap kurang dapat diandalkan.
"Bisnis asing semakin dipandang sebagai pihak yang merebut peluang dari warga lokal," ujarnya. "Sebagai contoh, dana besar yang dihabiskan Arab Saudi untuk konsultan Barat dalam proyek Neom dan transformasi lainnya menimbulkan ketidakpuasan, baik dari kementerian dan lembaga pemerintah maupun dari konsultan lokal baru yang ingin ikut serta."
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: Yuniman Fard
Simak juga Video: Cerita Prabowo Soal Tulisan di Kolam Eks Belanda Lecehkan Indonesia
(ita/ita)