Selama beberapa dekade, sebagian besar usaha kecil di negara komunis satu partai ini menggunakan sistem pajak tarif tetap (lump-sum), di mana pajak dihitung berdasarkan perkiraan pendapatan, bukan pembukuan formal.
Dalam praktiknya, penilaian pendapatan sering bergantung pada konsultasi informal dengan pejabat pajak lokal, karena banyak usaha kecil tidak memiliki catatan penjualan yang rinci.
Menurut Kementerian Keuangan Vietnam, hingga awal 2025 ada sekitar dua juta usaha rumah tangga dan wirausaha yang masih menggunakan metode tarif tetap, sementara hanya sekitar 6.000 yang beralih ke sistem deklarasi yang lebih rumit.
Namun mulai 2026, sistem tarif tetap akan dihapus total, sehingga semua usaha yang terdaftar wajib menggunakan sistem deklarasi.
Perubahan ini merupakan bagian dari Resolusi 68, rencana besar yang diumumkan pada Mei lalu untuk menjadikan perusahaan swasta lokal sebagai "motor penggerak utama" ekonomi Vietnam pada 2035. Targetnya adalah agar perusahaan lokal mampu mengungguli korporasi asing dan BUMN yang selama ini lebih diistimewakan pemerintah.
Mengapa Vietnam mengubah sistem pajaknya?
Resolusi 68 bertujuan melonggarkan regulasi bagi perusahaan lokal, meningkatkan perlindungan hukum, serta mempermudah akses terhadap modal. Untuk pertama kalinya, resolusi ini secara tegas menetapkan hak milik, persaingan sehat, dan penegakan kontrak sebagai prinsip hukum.
Selain memberi insentif berupa pembebasan pajak dan biaya administrasi yang lebih rendah, kebijakan ini juga diarahkan untuk meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan dalam beberapa dekade mendatang.
Pengeluaran publik diperkirakan melonjak karena kebutuhan stimulus ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Namun, dengan batasan utang publik yang ketat, pemerintah harus mencari sumber pendapatan baru.
Data Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menunjukkan rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) Vietnam turun menjadi 16,8% pada 2023, di bawah rata-rata Asia-Pasifik (19,5%) dan jauh lebih rendah dari rata-rata OECD (33%).
Menurut Direktorat Jenderal Pajak, pada 2024 Vietnam mencatat penerimaan pajak tertinggi sepanjang sejarah, yakni 1,6 kuadriliun dong (sekitar Rp988 triliun), sebagian besar dari sumber domestik.
Dalam lima bulan pertama 2025 saja, otoritas Vietnam mengumpulkan sekitar $560 juta (sekitar Rp8,68 triliun) dari usaha kecil, meningkat 26% dibandingkan tahun sebelumnya.
Vietnam ingin jadi "Macan Asia" baru
Pemerintah berharap dapat menghimpun modal untuk proyek infrastruktur raksasa, seperti kereta cepat dan jalan tol, yang dianggap kunci pertumbuhan masa depan. Tahun ini saja, anggaran infrastruktur naik hampir 40% menjadi $36 miliar (sekitar Rp558 triliun).
Vietnam juga harus bersiap menghadapi biaya jaminan sosial yang meningkat seiring populasi menua cepat. Persentase warga berusia di atas 65 tahun diperkirakan melonjak dari 8,4% pada 2020 menjadi 20% pada 2050. Saat ini, menurut Departemen Ekonomi dan Sosial PBB, hanya sedikit pensiunan yang menerima uang pensiun layak.
Pajak jadi alat berantas korupsi
Partai Komunis ingin memodernisasi sistem pajak untuk membatasi korupsi, terutama di kantor pajak yang dikenal rawan praktik suap.
Sejak 2016, kampanye antikorupsi telah menumbangkan dua presiden, sejumlah menteri, dan ribuan pejabat tingkat bawah.
Menurut pejabat dan analis bisnis, banyak perusahaan berpendapatan besar masih menggunakan sistem tarif tetap, yang biasanya membuat kontribusi pajak bulanan jauh lebih kecil dibanding sistem deklarasi.
Mereka berpendapat sektor swasta butuh "persaingan sehat" dan perlakuan yang adil, yang berarti semua pihak harus membayar pajak sesuai aturan.
Namun, seperti dikatakan Khac Giang Nguyen, peneliti tamu di ISEAS–Yusof Ishak Institute Singapura, "Menambah penerimaan itu sulit, karena memperketat kepatuhan bisa memicu resistensi politik."
"Namun, keberhasilan akan lebih bergantung pada penerapan aturan secara adil, transparan, dan tanpa kebiasaan mencari keuntungan yang telah mengikis kepercayaan publik, ketimbang sekadar membuat aturan baru," tambahnya.
Usaha kecil jadi korbannya
Protes jarang terjadi di Vietnam, tetapi dalam beberapa minggu terakhir video pedagang yang mengeluhkan tuntutan pajak baru beredar luas.
Dengan kewajiban beralih ke sistem deklarasi mulai Januari 2026, banyak usaha kecil harus menghadapi kenaikan pajak besar, membeli mesin kasir baru, belajar pembukuan, serta melatih staf mengikuti aturan baru.
Semua ini terjadi ketika beberapa sektor masih dalam masa pemulihan pasca pandemi COVID-19, ditambah ketidakpastian soal ancaman tarif 46% dari AS atas barang Vietnam (yang akhirnya berhasil diturunkan menjadi 20%).
"Di pasar, orang-orang juga masih diperas polisi korup," kata Zachary Abuza, profesor di National War College, Washington. Ia menambahkan, meski pemerintah ingin sektor swasta jadi motor pertumbuhan, kebijakan pajak baru justru berisiko membuat banyak usaha gulung tikar.
Pada Juli lalu, undang-undang baru tentang PPN, pajak korporasi, dan pajak penghasilan mulai berlaku, menuntut usaha untuk melakukan pembukuan lebih rinci.
Selain itu, prosedur baru yang lebih rumit terkait penerbitan faktur, pembayaran PPN, hingga pelaporan informasi juga diperkenalkan bulan lalu. Pada saat yang sama, pemerintah menggandakan ambang batas penghasilan yang dikenai pajak.
Radio Free Asia melaporkan pada Juni, 80% toko di pasar terbesar di Provinsi Nghe An tutup dalam beberapa bulan terakhir.
Pemerintah membantah bahwa reformasi pajak menjadi penyebab penutupan. Otoritas Hanoi mengakui hampir 3.000 usaha rumah tangga berhenti beroperasi pada Mei dan Juni, tetapi hanya 263 yang pendapatannya cukup besar sehingga diwajibkan mengikuti sistem baru.
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Alfi Anadri
Editor: Rahka Susanto
Simak juga Video: Trump Kenakan Tarif Impor 20% untuk Vietnam
(ita/ita)