Merespon krisis kelaparan yang semakin parah di Gaza, Israel mengizinkan beberapa negara menyalurkan paket bantuan melalui udara ke wilayah tersebut. Pada Senin(4/8), pesawat dari Uni Emirat Arab, Yordania, Mesir, Jerman, Belgia, dan Kanada menjatuhkan 120 paket bantuan, kata Pasukan Pertahanan Israel (IDF).
Sehari setelahnya, Israel mengatakan akan membuka kembali jalur masuk barang-barang dagang ke Gaza melalui pedagang lokal untuk mengurangi ketergantungan Gaza pada bantuan kemanusiaan.
Namun, warga Palestina dan organisasi kemanusiaan menyebut bantuan tersebut tidak mencukupi dan terdistribusi dengan buruk.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bantuan yang dijatuhkan lewat udara tidak sampai ke siapa pun kecuali mereka yang bisa bertarung untuk mendapatkannya," kata Diaa al-Asaad, seorang ayah berusia 50 tahun yang mengungsi dengan enam anak di Kota Gaza, yang berbicara dengan DW melalui telepon. Jurnalis asing dilarang masuk ke Gaza.
Beberapa zona khusus penjatuhan bantuan, sulit diakses, jelas al-Asaad, karena terletak di dekat atau di dalam area militer yang dikendalikan Israel, yang dikenal sebagai "zona merah."
"Kami membutuhkan bantuan yang didistribusikan secara adil kepada seluruh warga, bukan seperti ini," katanya.
Majed Ziad, seorang warga kamp pengungsi Nuseirat di Gaza, mengungkap hal serupa, "Solusinya bukan dengan melemparkan makanan kepada kami. Orang-orang membutuhkan akses normal dan manusiawi [ke makanan], bukan seperti hewan yang mengejar mangsa di hutan."
'Skenario terburuk sedang terjadi'
Bantuan yang dikirimkan via jembatan udara disalurkan di tengah krisis kemanusiaan yang semakin parah. 2,2 juta penduduk Gaza menghadapi krisis pangan, air bersih, obat-obatan, dan energi yang. Banyak di antaranya bergantung pada bantuan eksternal. Sebagian besar produksi pangan lokal telah hancur. Para ahli telah memperingatkan sebelumnya bahwa Gaza berada di ujung tanduk bencana kelaparan.
Klasifikasi Global Fase Keamanan Pangan Terpadu (IPC) yang didukung PBB memperingatkan bahwa "skenario terburuk kelaparan sedang terjadi," sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat peningkatan tajam angka kematian akibat malnutrisi di kalangan anak-anak bulan lalu.
Israel, yang mengendalikan perbatasan Gaza telah menghentikan masuknya pasokan bantuan makanan sejak awal Maret untuk menekan Hamas, organisasi yang disebut teroris oleh banyak negara. Sejak saat itu penyaluran bantuan didistribusikan oleh Gaza Humanitarian Foundation (GHF) yang didukung AS. Ratusan orang tewas di dekat lokasi distribusi tersebut, diduga akibat tembakan Israel.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berulang kali menyalahkan Hamas yang telah menjarah bantuan tersebut dan menuduh bahwa Israel menyebabkan krisis kelaparan di Gaza.
"Mereka berbohong tentang kami. Mereka mengatakan bahwa kami sengaja membuat anak-anak Palestina kelaparan. Itu adalah kebohongan yang terang-terangan. Sejak awal perang, kami telah membiarkan masuk hampir 2 juta ton makanan," katanya dalam video yang diunggah di X.
Sejak perang dimulai pada Oktober 2023, otoritas kesehatan lokal yang dikelola Hamas telah melaporkan lebih dari 60.000 kematian, dengan banyak korban lainnya diperkirakan terjebak di bawah reruntuhan. Otoritas lokal tidak dapat membedakan antara militan Hamas atau warga sipil, sebagian besar korban dilaporkan adalah perempuan dan anak-anak.
Kontroversi jembatan udara
Pada Senin(4/8), seorang perawat di Gaza dilaporkan tewas tertimpa paket bantuan yang dijatuhkan lewat udara.
Komisaris Jenderal Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Palestina (UNRWA), Philippe Lazzarini, menulis di X bahwa penyaluran bantuan lewat jembatan udara mahal dan kurang efektif dibandingkan pengiriman lewat jalur darat.
"Jembatan udara setidaknya 100 kali lebih mahal daripada truk. Truk dapat mengangkut dua kali lipat bantuan dibandingkan pesawat," tulisnya.
Dalam kunjungan terbaru ke Israel, Menteri Luar Negeri Jerman, Johann Wadephul, mengakui keterbatasan penyaluran bantuan tersebut, menyerukan Israel untuk membuka jalur darat guna pengiriman bantuan yang efektif.
"Rute darat sangat penting," katanya. "Di sini, pemerintah Israel memiliki kewajiban untuk segera mengizinkan bantuan kemanusiaan dan medis yang cukup untuk melewati dengan aman, sehingga kematian massal akibat kelaparan dapat dicegah."
Dia mengakui bahwa lebih banyak truk bantuan masuk ke Gaza, tetapi menambahkan "masih belum cukup," dan menyerukan "perubahan mendasar" dalam kebijakan Israel.
Jeda militer belum sepenuhnya berhasil sampaikan bantuan
Militer Israel mengumumkan jeda militer dan membuka koridor kemanusiaan untuk konvoi bantuan di tiga wilayah Gaza pekan lalu. Namun, Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) melaporkan bahwa bantuan yang masuk ke Gaza "masih belum memadai", konvoi bantuan menghadapi bahaya dan tertunda. Misalnya, pengiriman bahan bakar masuk ke lokasi memakan waktu 18 jam dengan jarak tempuh 24 kilometer.
Banyak warga Palestina tewas di dekat lokasi distribusi GHF atau saat menunggu konvoi bantuan. Truk bantuan seringkali tidak sampai ke penerima yang dituju karena penjarahan, baik oleh warga yang putus asa maupun para pedagang gelap.
Dalia al-Affifi, seorang ibu dua anak di Kota Gaza, mengatakan bahwa sebagian besar bantuan tidak pernah sampai ke masyarakat. Harga barang-barang pokok, seperti tepung melonjak tajam, mencapai 100-120 shekel (470-560 ribu rupiah) per kilogram, harga yang sangat tidak terjangkau bagi banyak orang.
Al-Affifi mengatakan bahwa sebagai seorang perempuan, dia tidak akan mampu berlari lebih cepat dari pemuda-pemuda yang berusaha mendapatkan makanan dari truk bantuan, ia pun takut mengirim anggota keluarganya.
"Adik saya ada di sini, saya tidak ingin dia pergi ke sana dan mempertaruhkan nyawanya."
Diaa al-Asaad juga kesulitan memberi makan anak-anaknya. Pekan lalu, dia berjalan beberapa kilometer ke arah kawasan Zikim di utara Gaza untuk menunggu truk bantuan PBB lewat. "Saya mencoba mendapatkan tepung, tapi tidak mungkin. Saya berhasil mendapatkan beberapa kaleng kacang dan kacang arab. Saya hanya butuh makanan."
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Sorta Caroline
Editor: Yuniman Farid
Tonton juga video "Kain Kafan Langka, Gaza Menderita di Bawah Genosida" di sini:
(ita/ita)