Pemukim Israel Tewaskan Dua Warga Palestina di Tepi Barat

Pemukim Israel Tewaskan Dua Warga Palestina di Tepi Barat

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Senin, 14 Jul 2025 17:03 WIB
Jakarta -

Lapangan sekolah di al-Mazra'a al-Sharqiya, sebuah kota di Tepi Barat yang diduduki Israel, berubah menjadi tenda duka besar setelah dua pemuda tewas dalam serangan yang menurut keluarga mereka merupakan aksi terbaru pemukim Israel.

Pihak keluarga menyatakan, Sayfollah Musallet, warga negara AS berusia 20 tahun asal Florida, tewas setelah dipukuli. Sementara Mohammed al-Shalabi, 23 tahun, ditembak saat serangan pada hari Jumat (11/06). Warga sekitar menyebut pemukim Israel menghalangi upaya penyelamatan kedua pemuda yang mengalami luka serius.

Razek Hassan al-Shalabi, ayah Mohammed, duduk di antara warga dan kerabat yang datang melayat di halaman sekolah. "Pagi tadi dia bilang ingin menikah," ujarnya kepada DW. "Dia berbicara tentang ingin membangun keluarga, sekarang kami harus menguburkannya."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di seberang jalan, di rumah Sayfollah Musallet, para perempuan berkumpul untuk menghibur keluarga yang berduka. Saif, panggilan Sayfollah, tiba sejak Juni lalu dari kampung halamannya di Tampa, AS, untuk menghabiskan musim panas bersama kerabatnya di kota yang berjarak sekitar 20-kilometer timur laut Ramallah itu.

"Dia seperti adik sendiri," kata sepupunya, Diana Halum, yang juga menjadi juru bicara keluarga, kepada DW. "Kami sering bepergian bersama, bolak-balik dari AS ke Palestina. Dia datang ke sini untuk mengunjungi sepupu dan teman-temannya."

ADVERTISEMENT

"Kami tidak pernah menyangka hal tragis seperti ini akan terjadi," lanjut Halum. "Apalagi cara mereka membunuhnya. Dia dianiaya oleh para pemukim Israel yang agresif dan ilegal, lalu dibiarkan begitu saja selama berjam-jam."

Pihak keluarga menjelaskan, selama tiga jam petugas medis berusaha menjangkau Saif, akhirnya saudaranya sendiri yang berhasil membawanya ke ambulans. Namun Saif keburu meninggal dunia sebelum tiba di rumah sakit.

"Ini adalah mimpi buruk yang tidak terbayangkan, ketidakadilan yang tidak seharusnya dialami keluarga manapun," kata pihak keluarga. "Kami mendesak Departemen Luar Negeri AS segera menyelidiki dan menuntut pertanggungjawaban para pemukim Israel atas kejahatan yang mereka lakukan terhadap Saif."

Departemen Luar Negeri AS menyatakan mereka mengetahui laporan mengenai kematian seorang warga negara AS di Tepi Barat, namun menolak memberi komentar lebih lanjut dengan alasan "demi menghormati privasi keluarga", meski menyatakan siap "memberikan layanan konsuler."

'Kenyataan sehari-hari' di Tepi Barat

Para pemuda berkumpul bersama warga lain seusai salat Jumat, menunjukkan solidaritas mereka di sebuah ladang yang menjadi lokasi bentrokan saat pemukim Israel menyerang warga yang tengah berdemo menolak kekerasan dan perampasan tanah, minggu lalu.

Dalam pernyataan awal setelah kejadian, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengklaim bahwa "teroris melemparkan batu ke arah warga sipil Israel," sehingga memicu "konfrontasi kekerasan" yang mencakup "perusakan properti Palestina, pembakaran, bentrokan fisik, dan pelemparan batu."

IDF juga mengakui adanya laporan bahwa setidaknya satu warga Palestina tewas dan beberapa lainnya terluka. Mereka mengatakan insiden itu "sedang diselidiki." Keluarga korban menyebut tubuh kedua pemuda menunjukkan tanda-tanda penyiksaan.

Menjawab pertanyaan DW, IDF merujuk pada pernyataan sebelumnya dan menambahkan bahwa "penyelidikan gabungan telah diluncurkan oleh Kepolisian Israel dan Divisi Investigasi Kriminal Militer."

Serangan ini hanyalah satu dari sekian banyak kekerasan terhadap warga Palestina di Tepi Barat. Sejak insiden serangan Hamas ke selatan Israel pada 7 Oktober 2023 dan perang yang menyusul di Gaza, kekerasan semacam ini menjadi "kenyataan sehari-hari," menurut Kantor PBB untuk Urusan Kemanusiaan (OCHA). Dari Januari 2024 hingga Mei 2025, OCHA mencatat lebih dari 2.070 serangan oleh pemukim yang mengakibatkan korban jiwa dan kerusakan properti di Tepi Barat.

Pemukim secara rutin menyerbu desa-desa atau mendirikan pos ilegal untuk mengintimidasi dan mengusir warga Palestina, seringkali dilakukan di depan tentara atau polisi Israel yang tak mengambil tindakan. Kelompok HAM Israel dan Palestina juga melaporkan bahwa beberapa pemukim telah direkrut menjadi anggota militer cadangan.

Syok, kehilangan, kepasrahan

Beberapa jam setelah kejadian, Razek Hassan al-Shalabi sempat mengira putranya, Mohammed, berada dalam tahanan IDF. Namun saat malam tiba dan ia mengetahui kabar itu keliru, warga mulai mencari keberadaan Mohammed. Keluarga dan Kementerian Kesehatan Palestina mengatakan jasadnya ditemukan dalam kondisi tertembak di punggung dan mengalami luka parah.

Teman-teman kedua korban berkumpul di sekolah pada hari Sabtu (12/06), tampak terkejut. Iyad, yang meminta nama belakangnya tak disebut, mengatakan Saif dan Mohammed berada dalam lingkaran pertemanan yang sama. "Mereka selalu jadi orang yang membuat semua orang bahagia. Mereka tak pernah mengecewakan siapa pun. Kalau kamu butuh bantuan, mereka pasti ada," katanya kepada DW.

Iyad yang juga adalah pemuda Palestina-Amerika mengatakan banyak orang di Tepi Barat percaya bahwa para pemukim melakukan serangan dengan kesan "kebal hukum". Ia juga menilai pemerintah AS jarang membela korban maupun keluarga mereka.

"Kasus ini mendapat perhatian hanya karena Saif adalah warga negara Amerika," katanya. "Tapi ini bukan pertama kalinya. Sudah ada beberapa warga Amerika yang dibunuh, baik oleh pemukim maupun tentara Israel dan saya rasa pemerintah Amerika harus mulai bertindak. Jujur saja, saya kehabisan kata-kata."

Berasal dari California, Iyad juga sedang berkunjung ke Palestina untuk menghabiskan liburan musim panas. "Sungguh menyedihkan, ketika orang harus selalu waspada di tanahnya sendiri. Menyedihkan, karena setiap kali orang Palestina keluar rumah, nyawanya terancam," katanya. Sejak perang di Gaza pada Oktober 2023 meletus menyusul serangan brutal teroris Hamas ke Israel, tiga pemuda Palestina-Amerika lainnya tewas di Tepi Barat. Kasus mereka, yang melibatkan pemukim maupun tentara Israel, masih belum terungkap.

"Situasi ini membuat kami merasa tak berdaya dan sedih. Disini, di desa, kami menghadapi hal seperti ini hampir setiap hari," kata Hafeth Abdel Jabbar kepada DW. Putranya yang berusia 17 tahun, Tawfiq, warga negara AS dari Louisiana, ditembak mati pada 2024 di dekat kota itu. Hingga kini, tak ada satu orang pun yang dituntut.

"Yang menyakitkan, pemerintah kami malah mendukung rezim yang penuh rasisme dan ekstremisme. Mereka mendukung para pemukim, seolah-olah memperlakukan kami seperti bukan manusia. Itu yang membuat kami benar-benar bingung," ujar Abdel Jabbar.

Meski pemerintah AS sebelumnya pernah menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah pemukim radikal, semua sanksi tersebut dicabut oleh Presiden Donald Trump tak lama setelah ia menjabat.

Razek Hassan al-Shalabi mengaku tak yakin otoritas Israel akan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya terkait kematian putranya. Ia berusaha tegar saat pemakaman pada hari Minggu (13/06), saat proses pemakaman massal.

Dalam pernyataan Razek sebelum berakhir karena terlalu sedih atas kepergian putranya, ia mengatakan, "Kami lebih dari sekadar ayah dan anak, kami adalah sahabat."

Artikel ini pertama kali dirilis dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh: Iryanda Mardanuz
Editor: Hendra Pasuhuk

Lihat juga Video 'Korban Tewas di Gaza Tembus 58.026 Orang':

(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads