Pemerintah China didesak untuk menghentikan pemulangan paksa pelarian Korea Utara. Repatriasi acap berujung pidana bagi pengungsi atas dakwaan makar, klaim organisasi kemanusiaan.
Meskipun Beijing bersikeras bahwa repatriasi hanya berlaku bagi "migran ekonomi," bukan pencari suaka. Analis meyakini, pengungsi Korut rentan dijadikan pion dalam konflik geopolitik regional.
Tanggal 30 November lalu, Majelis Nasional Korea Selatan mengeluarkan resolusi yang mendesak Beijing untuk menghentikan repatriasi dan agar mengakui pelarian Korut sebagai pengungsi, serta mengizinkan mereka melakukan perjalanan ke Korea Selatan atau negara lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Resolusi tersebut juga menyerukan upaya yang lebih besar untuk mendorong negara lain dan organisasi bantuan internasional untuk meningkatkan tekanan terhadap Beijing.
China melanggar asas non-refoulement?
Sebelumnya pada bulan November, Komite HAM PBB mengeluarkan rancangan resolusi yang menyuarakan keprihatinan mengenai "situasi hak asasi manusia yang buruk di Korea Utara" dan hukuman kepada mereka yang dipulangkan dari China.
Laporan tersebut menyatakan bahwa negara-negara anggota PBB harus menaati asas non-refoulement, yang pemulangan paksa pengungsi ke negara di mana mereka berisiko mengalami penyiksaan, perlakuan kejam, hukuman atau bahaya serius lainnya.
Masalah ini kembali menjadi agenda PBB setelah kelompok hak asasi manusia melaporkan betapa China telah secara paksa memulangkan 600 pengungsi Korea Utara pada bulan Oktober lalu, tak lama setelah Korea Utara membuka kembali perbatasan yang ditutup sejak awal pandemi corona.
Diyakini, saat ini ada sekitar 2.000 warga Korea Utara yang ditahan di China yang menurut kelompok HAM juga terancam akan dipulangkan.
Beijing selama ini menganggap warga Korea Utara yang melintasi perbatasan sebagai pencari kerja, bukan suaka. Sebabnya tuduhan memulangkan pengungsi secara paksa adalah "sama sekali tidak berdasar," menurut Kementerian Luar Negeri China. Pemerintah berdalih, pihaknya "tidak menemukan adanya bukti" penyiksaan atau pelanggaran hak asasi manusia di Korea Utara.
Klaim tersebut dibantah oleh ragam testimoni para pembelot Korut yang selamat. Mereka mengatakan, pengungsi yang dipulangkan sering disiksa dan dijebloskan ke kamp kerja paksa.
Meskipun demikian, Hyobin Lee, Guru Besar Politik di Universitas Nasional Chungnam, Korsel, mengatakan konflik geopolitik menjadi prioritas yang lebih besar bagi China. Artinya, Beijing tidak akan terpengaruh untuk mengubah kebijakannya terhadap Korea Utara.
"Pemulangan pembelot Korea Utara oleh China sangat bergantung kepada aliansi antara Beijing dan Pyongyang," katanya.
Pesan terselubung bagi jiran di selatan
"Korea Utara sangat sensitif terhadap masalah pembelot," kata Lee kepada DW. "China tidak bisa memihak Korea Selatan dan Amerika Serikat dengan membiarkan para pelarian Korut pergi ke negara-negara tersebut."
Namun, imbuhnya, China belakangan mulai mengendurkan upaya menangkapi pelarian Korut di penjuru negeri karena ikut diuntungkan oleh masuknya tenaga kerja murah.
Kim Sang-woo, mantan anggota Kongres Korea Selatan, percaya bahwa pemulangan warga Korea Utara baru-baru ini bisa dilihat sebagai peringatan untuk Korea Selatan, bahwa Seoul tidak memiliki pengaruh terhadap Beijing untuk menghentikan repatriasi.
"Ini bukan sekadar persoalan repatriasi," katanya. "Hal ini terjadi karena hubungan buruk antara China dan Korea Selatan, khususnya dengan pemerintahan Yoon Suk Yeol, karena berambisi meningkatkan hubungan militer dan politik trilateral dengan Jepang dan Amerika Serikat."
"China khawatir dengan semakin eratnya hubungan ketiga negara, repatriasi paksa pengungsi Korea Utara hanyalah salah satu dari banyak cara yang dapat digunakan Beijing untuk menunjukkan ketidakpuasannya."
rzn/hp
Lihat juga Video: China Akhirnya Tunjukkan Stasiun Luar Angkasa Tiangong Secara Utuh