Tatang, Singa KBRI Malaysia

Tatang, Singa KBRI Malaysia

- detikNews
Minggu, 24 Feb 2008 12:06 WIB
Jakarta - Bila berkunjung ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur, Malaysia, jangan bayangkan suasananya akan sangat memprihatinkan. Tidak akan lagi dijumpai antrean panjang bahkan pengunjung harus jongkok ketika akan masuk KBRI. Pengurusan dokumen yang dulunya memakan waktu sampai 41 hari, kini pun cukup hanya 3 jam.

KBRI Malaysia, di tengah terpaan kasus korupsi yang membuat sejumlah mantan Duta Besarnya menjadi terdakwa, ternyata terus berbenah. Kini, tanpa Duta Besar tidak membuat KBRI limbung. Dengan 260 staf, hanya 20 dari Jakarta, KBRI Malaysia tetap beroperasi menangani sejumlah kasus panas antara Indonesia dan Malaysia.

KBRI terus bersuara keras atas tindakan Malaysia yang tidak adil terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) di negeri jiran itu. "Kita di mana-mana teriak. Malaysia itu tidak kooperatif. Berdasarkan konvensi Wina, bila ada kasus harus dilaporkan ke perwakilan negara, tapi Malaysia tidak pernah melaporkan kasus ke KBRI," tandas diplomat senior KBRI Malaysia, Tatang Budi Utama Razak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan suara tegas, Tatang lantas mengurai sejumlah masalah yang dihadapi KBRI Malaysia. Saat ini lebih dari 2 juta warga negara Indonesia (WNI) berada di Malaysia. Dari jumlah itu, 1,1 juta memiliki izin resmi, sementara sisanya illegal. Dengan jumlah itu, TKI menempati 60 persen dari tenaga kerja asing di Malaysia.

Setiap tahunnya, ada 600-1.000 TKI yang meninggal di Malaysia akibat kecelakaan kerja. Sementara para tenaga kerja wanita (TKW) sering mendapat kasus mulai dari gaji tidak dibayar, diperlakukan secara tidak manusiawi, dan mengalami pelecehan seks sampai perkosaan.

Saat ini di penampungan KBRI Malaysia, ada 53 TKW dan dua bayi. Salah seorang yang tinggal di penampungan KBRI adalah Suryani, korban perkosaan pasukan Rela Malaysia. Kini Suryani telah melahirkan bayi. Selain kasus TKI, pelajar Indonesia juga menjadi korban eksplotasi di Malaysia.

KBRI sangat gemes dengan sistem hukum di Malaysia. Negeri jiran ini memberi kesan sangat meremehkan Indonesia. Dalam proses hukum misalnya, bila orang Indonesia menjadi korban, prosesnya sangat lambat. Sementara bila orang Indonesia menjadi tersangka prosesnya bisa cepat.

"Memang kalau dilihat jumlah, persoalan hanya 1 persen. Tapi tidak ada alasan bagi Malaysia untuk menyepelekan. Karena prinsip hukum, semua orang wajib dilindungi," tegas Tatang.

KBRI sering meminta agar Malaysia memprioritaskan kasus-kasus sensitif seperti Nirmala Bonat dan sebagainya. Tapi di Malaysia, menurut Tatang, sistem hukumnya sangat buruk. Tidak ada limit waktu untuk penyelesaian hukum.

Tatang lantas mengurai tentang hubungan Indonesia dengan Malaysia. Pada zaman Soeharto, sebenarnya sudah banyak masalah antara kedua negara bertetangga ini. Namun waktu itu, Malaysia selalu melakukan pendekatan serumpun dengan membawa-bawa nama Soeharto sebagai saudara tua. "Sekarang Indonesia sudah berubah. Sekarang tidak boleh lagi model kekeluargaan seperti dulu lagi," kata Tatang.

Tatang mengaku sikapnya yang garang terhadap Malaysia mendapat dukungan penuh Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda yang menjadi bosnya. Hassan juga bersikap keras terhadap Malaysia dengan menyatakan tidak percaya lagi kata serumpun.

Dengan dukungan Menlu, Tatang semakin mantap melawan ketidakadilan Malaysia. "Malaysia itu tricky (licik) harus kita hadapi dengan tricky," tandas Tatang garang. Dengan sikap garang itu pantaslah jika Tatang disebut singa di KBRI Malaysia. Teruslah mengaum Pak, bila mendapati ketidakadilan! Selamat berjuang! (iy/asy)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads