×
Ad

Bamsoet Sebut Kebocoran Pajak Ancam Kedaulatan Fiskal Indonesia

Dea Duta Aulia - detikNews
Sabtu, 13 Des 2025 22:08 WIB
Foto: dok. MPR RI
Jakarta -

Anggota DPR RI sekaligus dosen tetap program studi doktor ilmu hukum Universitas Borobudur Bambang Soesatyo (Bamsoet) menegaskan sistem perpajakan Indonesia masih menghadapi masalah serius dan kebocoran besar yang harus segera dibenahi secara menyeluruh.

Temuan Bank Dunia tentang besarnya kebocoran pajak, ditambah pengakuan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bahwa Undang-Undang Cipta Kerja membuat negara kehilangan potensi penerimaan sekitar Rp 25 triliun per tahun, menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan fiskal nasional.

Laporan Bank Dunia menunjukkan bahwa kapasitas pemungutan pajak Indonesia jauh dari potensi sesungguhnya. Bank Dunia mencatat rasio penerimaan pajak Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto berada di bawah 10 persen dan diproyeksikan sekitar 9,9 persen pada 2025. Angka ini tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN dengan tingkat pembangunan ekonomi yang sama, seperti Vietnam, Filipina, dan Thailand.

Hal itu diungkapkan oleh Bamsoet saat mengajar mata kuliah "Politik Hukum dan Kebijakan Publik", Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur di Kampus Universitas Borobudur Jakarta, hari ini.

"Temuan Bank Dunia ini sejalan dengan realitas yang dirasakan di dalam negeri. Ketika potensi pajak yang hilang mencapai ratusan triliun rupiah, itu berarti ada masalah mendasar dalam desain kebijakan dan tata kelola perpajakan kita. Ini harus menjadi peringatan serius bagi pemerintah," ujar Bamsoet dalam keterangannya, Sabtu (13/12/25).

Bamsoet memaparkan data Bank Dunia juga mengungkap adanya kesenjangan potensi pajak atau tax gap yang besar di Indonesia. Selisih antara pajak yang seharusnya dipungut dengan yang benar-benar masuk ke kas negara diperkirakan mencapai sekitar 6 hingga 6,4 persen dari PDB per tahun.

Jika dikonversi, nilainya setara ratusan triliun rupiah setiap tahun yang hilang akibat ketidakpatuhan, penghindaran pajak, lemahnya administrasi, serta kebijakan yang membuka celah penerimaan.

"Kebocoran tersebut diperparah oleh struktur ekonomi yang masih didominasi sektor informal dan ekonomi bawah tanah. Bank Dunia memperkirakan porsi ekonomi yang tidak tercatat di Indonesia mencapai hampir seperlima dari PDB. Kondisi ini membuat jutaan aktivitas ekonomi tidak tersentuh sistem perpajakan, sementara beban pajak terus bertumpu pada kelompok wajib pajak yang sama," tutur Bamsoet.

Bamsoet menambahkan pengakuan Menteri Keuangan bahwa UU Cipta Kerja menyebabkan potensi penerimaan negara berkurang sekitar Rp 25 triliun per tahun merupakan cerminan dari desain kebijakan fiskal yang perlu dievaluasi ulang. Kemudahan berusaha dan insentif investasi penting, namun tidak boleh mengorbankan keberlanjutan keuangan negara.

"Kalau satu undang-undang saja berdampak pada hilangnya puluhan triliun rupiah, negara wajib bertanya apakah manfaat ekonominya sebanding? Reformasi pajak harus berani mengoreksi kebijakan yang terbukti bocor dan menggerus penerimaan negara," tutur Bamsoet.

Bamsoet menjelaskan persoalan perpajakan tidak berdiri sendiri. Rendahnya rasio pajak, besarnya kebocoran penerimaan, serta keluhan wajib pajak terhadap administrasi menunjukkan bahwa reformasi perpajakan harus menyentuh aspek kebijakan, sistem, dan integritas birokrasi secara bersamaan. Reformasi yang terlalu menitikberatkan pada teknologi tanpa perbaikan tata kelola berisiko memindahkan masalah lama ke platform baru.

"Pajak merupakan instrumen kedaulatan fiskal. Ketika kebocoran dibiarkan dan basis pajak tidak diperluas secara adil, negara akan terus menghadapi ruang fiskal yang sempit dan bergantung pada utang. Situasi ini berisiko menghambat pembiayaan pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, dan pembangunan infrastruktur jangka panjang," papar Bamsoet.

Bamsoet juga mendorong pemerintah dan DPR untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan perpajakan. Termasuk dampak fiskal UU Cipta Kerja, efektivitas insentif pajak, serta penguatan pengawasan dan integritas aparatur pajak.

Peringatan dari Bank Dunia dan pengakuan Menteri Keuangan harus dimanfaatkan sebagai titik balik reformasi perpajakan nasional.

"Pajak adalah fondasi kedaulatan fiskal. Tanpa sistem pajak yang kuat dan adil, ruang fiskal negara akan terus sempit dan ketergantungan pada utang sulit dihindari. Reformasi pajak harus adil, transparan, dan berani menutup kebocoran agar pembangunan bisa berjalan berkelanjutan," tutup Bamsoet.




(prf/ega)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork