Dalam hari-hari terakhir ini, ruang publik kita kembali dipenuhi oleh suara-suara kritis mengenai pajak. Demonstrasi di sejumlah kota turut menyoroti kebijakan fiskal, sebagian dengan tuntutan agar pajak tidak dinaikkan demi kepentingan publik, sebagian lain mengeluhkan beban pajak yang dianggap mencekik masyarakat.
Fenomena ini memperlihatkan paradoks abadi dalam sistem perpajakan: di satu sisi, pajak adalah sumber kehidupan negara: di sisi lain, pajak dipandang sebagai kewajiban yang berat bagi warga.
Namun, mari kita ajukan sebuah pertanyaan yang lebih mendasar: bagaimana jika Indonesia benar-benar hidup tanpa pajak?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertanyaan ini tentu terdengar mustahil, bahkan utopis. Akan tetapi, dengan membayangkan kondisi tanpa pajak, kita dapat mengukur kembali betapa vitalnya peran pajak dalam menopang keberlangsungan negara modern.
Pajak bukan sekadar pungutan, melainkan fondasi yang menjaga agar roda pemerintahan, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan pembangunan bisa terus berputar.
Pajak sebagai Denyut Nadi APBN
Bagi Indonesia, pajak adalah komponen terbesar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Data terbaru Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen penerimaan negara bersumber dari pajak.
Tanpa pajak, APBN akan lumpuh. Bayangkan tubuh manusia tanpa aliran darah: jantung masih berdetak, paru-paru masih bernafas, tetapi seluruh organ perlahan kehilangan energi. Begitulah nasib negara jika sumber utama pendanaan hilang.
Alternatif apa yang bisa menggantikan pajak? Utang luar negeri mungkin menjadi pilihan sementara, tetapi jelas tidak akan berkelanjutan. Sumber daya alam dapat dieksploitasi, namun cadangannya terbatas dan fluktuatif.
Donasi internasional? Itu hanya ilusi ketergantungan. Hanya pajak yang memberikan kepastian, stabilitas, dan keberlanjutan bagi keuangan negara.
Tanpa Pajak, Siapa yang Membayar Gaji Guru dan Dosen?
Mari turun ke ranah konkret. Tanpa pajak, gaji guru dan dosen di sekolah maupun universitas negeri tidak akan ada. Lembaga pendidikan akan menghadapi krisis dana.
Mungkin universitas hanya bisa beroperasi dengan menarik biaya kuliah yang sangat tinggi, sehingga akses pendidikan menjadi barang mewah. Masyarakat menengah ke bawah akan terpinggirkan, dan cita-cita pemerataan pendidikan hanya tinggal retorika.
Bayangkan pula kualitas riset akademik. Penelitian ilmiah membutuhkan dukungan dana publik, mulai dari laboratorium hingga beasiswa. Jika pajak hilang, sumber riset akan kering. Indonesia akan kesulitan bersaing di kancah global, karena pengetahuan dan inovasi bergantung pada investasi pendidikan yang konsisten.
Tanpa Pajak, Siapa yang Membiayai Tentara dan Polisi?
Sektor keamanan adalah contoh lain. Tentara dan polisi bekerja menjaga kedaulatan dan ketertiban, namun siapa yang menggaji mereka? Tanpa pajak, institusi pertahanan hanya bisa bertahan melalui iuran masyarakat atau sponsor swasta. Ini tentu berbahaya: keamanan bisa diprivatisasi, hukum bisa diperjualbelikan, dan integritas aparat terancam.
Alih-alih negara hukum, kita akan kembali ke sistem feodal di mana perlindungan hanya dimiliki mereka yang mampu membayar. Siapa yang sanggup mengupah aparat, maka rumahnya yang dijaga. Siapa yang sanggup membayar tentara, maka komplek perumahannya yang dilalulalang tentara berpatroli. Tentara dan polisi tidak mampu patroli di seluruh wilayah NKRI, karena alutsista yang dimiliki tidak lagi canggih.
Infrastruktur: Dari Jalan hingga Rumah Sakit
Kita terbiasa mengeluh soal jalan berlubang atau fasilitas publik yang terbatas. Namun coba bayangkan jika pembangunan sama sekali tidak dibiayai pajak. Jalan tol, jembatan, pelabuhan, bandara, rumah sakit, puskesmas, hingga bendungan-semuanya tak mungkin terwujud. Jika pun ada, biayanya akan sepenuhnya ditanggung oleh swasta, dan masyarakat hanya bisa mengakses dengan tarif selangit.
Bayangkan sebuah rumah sakit tanpa subsidi pajak. Biaya perawatan dasar akan melonjak, vaksinasi massal tak lagi gratis, dan program kesehatan publik berhenti total. Pandemi seperti Covid-19 mungkin akan memakan korban jauh lebih besar, karena negara tidak memiliki kapasitas fiskal untuk menanggung biaya tes, obat, atau perawatan pasien.
Pajak dan Rasa Kebersamaan
Pajak sejatinya adalah wujud kontrak sosial antara negara dan warganya. Ia menjadi simbol bahwa setiap warga berkontribusi untuk kepentingan bersama. Kita memang merasakan beban ketika membayar pajak, tetapi dari pajak pula kita menikmati fasilitas publik yang tidak bisa dihitung dengan rupiah semata. Jalan yang kita lalui, keamanan yang kita rasakan, dan pendidikan yang kita nikmati adalah bukti nyata keberadaan pajak.
Ketidakpuasan terhadap pengelolaan pajak tentu sah dan wajar. Kritik terhadap korupsi, kebocoran anggaran, atau penggunaan pajak yang tidak efektif adalah bentuk partisipasi publik yang sehat. Namun, solusinya bukanlah meniadakan pajak, melainkan memperbaiki tata kelola. Transparansi, akuntabilitas, dan keadilan distribusi adalah kunci agar pajak tidak menjadi beban, melainkan investasi sosial yang bermakna.
Tidak ada negara maju tanpa sistem perpajakan yang kuat. Negara-negara Skandinavia, misalnya, dikenal memiliki tarif pajak yang tinggi, tetapi warga merasakan timbal balik berupa pendidikan gratis, layanan kesehatan universal, dan jaminan sosial yang komprehensif.
Di sisi lain, negara-negara yang gagal memungut pajak secara efektif seringkali terjebak dalam lingkaran kemiskinan, instabilitas, dan ketergantungan pada bantuan asing.
Indonesia sedang berada di persimpangan penting. Dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa, kebutuhan pembangunan sangat besar. Pajak adalah modal sosial dan ekonomi untuk memastikan agar setiap warga, dari Sabang hingga Merauke, memperoleh hak dasar yang sama.
Menutup Renungan: Sebuah Imajinasi Kelam
Seandainya Indonesia benar-benar tanpa pajak, kita akan hidup dalam negara yang rapuh. Guru dan dosen mungkin harus mencari dana dari muridnya, tentara dan polisi mungkin bekerja untuk sponsor swasta, dan jalan raya mungkin hanya bisa dilalui mereka yang mampu membayar.
Pendidikan, kesehatan, dan keamanan berubah dari hak publik menjadi barang dagangan. Negara akan kehilangan fungsi dasarnya sebagai penyedia kesejahteraan, dan yang tersisa hanyalah kekacauan.
Pajak memang tidak selalu menyenangkan untuk dibayar, tetapi ia adalah perekat bangsa. Tanpa pajak, kita kehilangan identitas sebagai negara modern yang berdaulat.
Oleh karena itu, alih-alih membayangkan Indonesia tanpa pajak, yang perlu kita lakukan adalah memperjuangkan Indonesia dengan pajak yang adil, transparan, dan berpihak pada rakyat. Hanya dengan cara itu, mimpi tentang masyarakat yang makmur dan beradab bisa diwujudkan.
Tansen Simanullang. Penyuluh Pajak pada Kanwil DJP Jakarta Utara, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan.
Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Tonton juga video "Unik! Warga di Ponorogo Bisa Bayar Pajak Pakai Pisang" di sini: