Polri memiliki polwan negosiator yang merupakan unsur penting dalam pelayanan unjuk rasa. Peran para polwan dengan kemampuan negosiasi massa, diyakini dapat membawa kondusivitas.
Korps Bhayangkara mengedepankan kehadiran polwan negosiator pada tahap awal pelayanan unjuk rasa dalam rangka akselerasi transformasi Polri menuju Presisi. Polwan negosiator diikutsertakan tak hanya saat di lapangan, tapi juga saat rapat persiapan pelayanan bersama unsur kepolisian lainnya seperti Sabhara, Intelijen, Reserse, Propam, dan lainnya di tingkat polres.
Dihimpun dari sejumlah sumber, Rabu (10/12/2025), seorang negosiator Polri dari tim pengendalian massa diwajibkan memiliki dua kemampuan interaksi. Pertama adalah sebagai fasilitator, dan kedua sebagai komunikator.
Fasilitator memiliki kemampuan untuk berpikir serta bertindak dengan cepat dan tepat dari berbagai sudut pandang, juga kemampuan untuk menjadi sarana komunikasi para pihak. Sementara itu, komunikator mampu mengomunikasikan suara pihak-pihak terkait, juga menyampaikan aturan-aturan unjuk rasa dengan penyampaian yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang terlibat.
Polwan negosiator dilatih untuk mampu memberi pengaruh, membujuk. Mereka juga diberi pelatihan agar tidak mudah menyerah pada emosi pribadi, ancaman, hingga tekanan verbal dari para pengunjuk rasa.
Agar dapat menjadi fasilitator dan komunikator yang andal, polwan dituntut memiliki wawasan dan pengetahuan praktis tentang psikologi terkait psikologis pengunjuk rasa. Mereka juga diberi pemahaman tentang strategi komunikasi pada masing-masing tipe pengunjuk rasa.
Karakter mudah beradaptasi serta tinggi empati juga menjadi modal penting bagi para polwan negosiator. Saat Apel Kasatwil 26 November lalu, Polri telah menggelar simulasi pelayanan unjuk rasa, di mana polwan negosiator nampak berada di tahap awal.
(aud/yld)