Makhluk fiksi penjaga Penjara Azkaban di semesta Harry Potter itu dikenal karena menghisap kebahagiaan dan harapan. Mereka yang berpapasan dengan Dementor siap-siap saja terkulai lesu pucat pasi bila tak menguasai mantra Patronus.
Kira-kira raut wajah 'korban' Dementor miriplah bila disandingkan dengan mereka yang baru diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apa jangan-jangan KPK punya Dementor di balik pintu berkelir cokelat muda dengan papan penanda merah yang disebut Ruang Riksa?
Setidaknya ada 72 ruangan serupa yang memang khusus didesain sebagai ruangan pemeriksaan di KPK itu. Di pertengahan Februari 2017, detikcom pernah mendapat kesempatan menilik ruangan itu sebelum difungsikan sebagai markas baru KPK yang diberi nama Gedung Merah Putih.
Seperti apa isinya?
Ruangan itu memiliki 2 pintu masuk yang terpisah. Di satu sisi untuk penyidik, sisi lainnya untuk saksi atau tersangka. Bedanya dari sisi saksi atau tersangka terdapat ruang kecil dengan cermin satu sisi sebelum masuk ke ruang pemeriksaan sebenarnya. Ruang kecil itu dikhususkan untuk kuasa hukum si tersangka untuk melihat jalannya pemeriksaan.
Untuk ruang pemeriksaannya sendiri terdapat meja yang memisahkan posisi si penyidik dengan yang diperiksa. Di atas meja terdapat komputer yang layarnya menghadap ke sisi penyidik. Desain ini sengaja dirancang agar selepas pemeriksaan, penyidik dan saksi atau tersangka tidak terlibat obrolan lain di luar materi pemeriksaan. Jadi masing-masing dari mereka keluar dari ruang pemeriksaan dari pintu berbeda.
Kembali ke pertanyaan awal yang menjadi pertanyaan di tulisan ini. Memang benar ada Dementor di situ?
Strategi Penyidik KPK
Tentu saja tidak. Kiasan itu dipilih penulis sebagai metafora bagaimana seorang penyidik berstrategi demi menggali sebuah kebenaran. Sebab di balik pintu ruang pemeriksaan yang tertutup rapat, penyidik KPK tak hanya berhadapan dengan pasal hukum, tetapi dengan berbagai karakter manusia, dari yang religius hingga yang flamboyan.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu blak-blakan mengungkap bagaimana suasana di balik pintu pemeriksaan KPK. Dia mengatakan penyidik tidak serta-merta membuka berkas atau langsung menembaki saksi dengan pertanyaan.
Lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) 1996 itu menyampaikan para penyidik memulai dari yang paling sederhana, yakni memahami sosok yang duduk di hadapannya. Tentunya, penyidik harus sudah mengetahui terlebih dahulu siapa sosok yang akan diperiksa.
"Pertama, kami penyidik itu mungkin juga sama dengan Pak JPU (jaksa penuntut umum), Pak Jaksa. Kita profiling dulu orangnya. Kita lihat dulu, oh, ini siapa nih yang mau diperiksa hari ini? Oh, si A, misalkan. Kita lihat dulu. Oh, ini kayaknya banyak pacarnya, gitu kan. Seperti itu," ujar Asep, di Bogor, Jawa Barat, Selasa (18/11/2025).
Profiling itu bukan sekadar membaca biodata. Penyidik memperhatikan karakter, lingkungan sosial, sampai urusan yang mungkin tak disangka orang yakni soal asmara.
Di tangan penyidik, psikologi menjadi senjata yang tak kalah tajam dari bukti tertulis. Karena pada akhirnya, dalam setiap kasus korupsi, yang dicari bukan hanya kesalahan, tetapi pengakuan dari mereka yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Menurut Asep, orang dengan banyak pacar dan relasi luas kerap lebih fasih menyembunyikan fakta atau dalam kata lain ada kecenderungan untuk berbohong. Sementara, jika saksinya cenderung religius, pembawaan penyidik dalam pemeriksaan akan lebih agamis.
"Maksudnya banyak pacarnya, gini. Nah, itu kita hati-hati. Kenapa? Kalau orang banyak kenalannya, banyak pacarnya, gitu kan, ada will-nya, itu biasa berbohong berarti kan," ucap dia.
Penyidik KPK juga tidak ingin pemeriksaan berlangsung kaku. Sebelum masuk ke inti perkara, mereka memulai dengan percakapan ringan tentang hobi, keluarga, atau hal lain yang digemari si saksi.
"Kita ngobrol dulu, ice breaking lah. Ice breaking, ngobrol dulu, cerita-cerita tentang keluarganya, cerita tentang hobinya, cerita tentang segala macam," sebut dia.
Hubungan emosional itu yang kemudian mencairkan ketegangan. Saat saksi mulai merasa aman untuk bercerita, barulah materi pemeriksaan perlahan dibuka.
Dan ketika waktunya tiba, teknik paling ampuh adalah menunjukkan fakta-fakta yang sulit dibantah. Setelah itu, biasanya pengakuan mengalir lebih mudah.
"Kita akhirnya untuk bongkar, bongkar. Nah, teknik pertama, mungkin sama juga rekan-rekan yang biasa jurnalis investigatif kan biasa. Cari dulu kesalahan yang utamanya, set... kita tunjukin salahnya," jelasnya.
(dek/dhn)