Surat Kuasa Pemohon Tak Sah, Gugatan Batasi TNI di Jabatan Sipil Kandas di MK

Surat Kuasa Pemohon Tak Sah, Gugatan Batasi TNI di Jabatan Sipil Kandas di MK

Haris Fadhil - detikNews
Kamis, 27 Nov 2025 12:43 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK)-(Anggi Muliawati/detikcom
Gedung Mahkamah Konstitusi (Anggi Muliawati/detikcom)
Jakarta -

Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menerima gugatan yang meminta pembatasan prajurit TNI di jabatan sipil. MK menyebut surat kuasa pemohon tidak sah sehingga permohonan tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

Sidang putusan perkara nomor 209/PUU-XXIII/2025 yang diajukan Syamsul Jahidin, Ratih Mutiara Louk Fanggi, Marina Ria Aritonang, dan Yosephine Chrisan Eclesia Tamba itu digelar di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (27/11/2025).

"Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima," demikian putusan MK.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan berwenang mengadili gugatan tersebut. Namun MK menyebut ada masalah pada surat kuasa pemohon.

"Mahkamah menemukan fakta tanda tangan para Pemohon sebagai pemberi kuasa bukanlah tanda tangan basah (konvensional), melainkan tanda tangan yang dilakukan melalui proses pindai (scan) dan bukan pula tanda tangan elektronik, yang dilengkapi dengan meterai dan tidak semua penerima kuasa membubuhkan tanda tangan," ujar MK.

ADVERTISEMENT

Menurut MK, tanda tangan dengan proses scan tidak dapat dibenarkan dalam tata beracara di MK. MK menyatakan surat kuasa harus ditandatangani langsung oleh pemberi kuasa dan penerima kuasa.

"Tanda tangan pemberi kuasa dan penerima kuasa adalah berupa tanda tangan basah (konvensional) atau berupa tanda tangan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, surat kuasa yang demikian tidak memenuhi syarat formil sebagai surat kuasa dan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) PMK 7/2025. Akibatnya, penerima kuasa tidak sah menerima kuasa dari pemberi kuasa sehingga tidak sah mewakili kepentingan pemberi kuasa di Mahkamah," ujar MK.

Sebelumnya, pemohon meminta MK membatasi prajurit TNI untuk menjabat di luar TNI. Dilihat dari situs resmi MK, Jumat (21/11), para pemohon perkara 209/PUU-XXIII/2025 itu menggugat pasal 47 ayat (1) UU TNI yang berbunyi:

Prajurit dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara termasuk dewan pertahanan nasional, kesekretariatan negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden, intelijen negara, siber dan/ atau sandi negara, lembaga ketahanan nasional, pencarian dan pertolongan, narkotika nasional, pengelola perbatasan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung.

Dalam petitumnya, mereka meminta MK untuk:

1. Menerima dan mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya

2. Menyatakan pasal 47 ayat (1) UU TNI bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, atau

3. Menyatakan pasal 47 ayat (1) UU TNI bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai:

"Prajurit dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga yang membidangi keamanan negara, pertahanan negara termasuk dewan pertahanan nasional, intelijen negara, siber dan/atau sandi negara, lembaga ketahanan nasional, pencarian dan pertolongan, pengelola perbatasan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung

4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya

Pemohon menjelaskan mereka menguji pasal tersebut karena menimbulkan kewenangan yang luas kepada prajurit TNI untuk menjabat di lembaga sipil. Pemohon mengatakan pasal itu menimbulkan ketidakadilan.

"Bahwa pasal 47 ayat (1) UU TNI yang memberikan keleluasaan bagi prajurit TNI untuk menduduki jabatan sipil tertentu tanpa harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan secara nyata menimbulkan ketidakadilan yang bersifat intolerable atau tidak dapat ditoleransi dalam kerangka negara hukum yang demokratis," ujarnya.

Simak juga Video: Kapolri Bentuk Tim Pokja Kaji soal Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil

Halaman 3 dari 3
(haf/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads