Badan Pengkajian MPR RI melalui Kelompok IV menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema 'Sistem Keuangan Negara, Perekonomian Nasional, dan Kesejahteraan Sosial' di Batam, kemarin.
Dalam FGD ini, salah satu topik yang mengemuka adalah evaluasi kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Tifatul Sembiring juga menyoroti minimnya kekuatan legislatif DPD dibandingkan lembaga serupa di negara federatif seperti Amerika Serikat.
"Ke depan kita harus menjawab apakah kewenangan DPD akan tetap seperti itu atau diperkuat. Naskah usulan penguatan Pasal 22D sudah dibahas, dan banyak pihak mendorong agar struktur ketatanegaraan kembali pada semangat asli Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," ungkap Tifatul dalam keterangannya, Selasa (25/11/2025).
Pada kegiatan ini, Tifatul juga menyoroti pasal-pasal ekonomi dalam UUD NRI 1945. Salah satunya Pasal 23 tentang keuangan negara, mencakup penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan undang-undang, serta pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk memeriksa tanggung jawab keuangan negara.
Kemudian, Pasal 33 tentang perekonomian nasional dengan dasar asas kekeluargaan, yang menekankan perekonomian disusun sebagai usaha bersama. Selanjutnya, Pasal 34 tentang fakir miskin dan anak terlantar (kesejahteraan sosial).
Politisi PKS ini menjelaskan APBN 2026 yang mencapai 3,800 triliun harus menjadi instrumen untuk pemerataan. Hal ini termasuk mendukung program-program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dinilai memiliki multiplier effect bagi sektor UMKM, pangan, dan industri turunannya.
Akademisi Soroti Ketidakmerataan Pembangunan
Sementara itu, Wakil Rektor III Universitas Ibnu Sina Batam, Dr. Sumardin menegaskan pentingnya sistem keuangan negara sebagai instrumen utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan serta meningkatkan kesejahteraan sosial.
Ia menekankan pengelolaan APBN, perpajakan, pembiayaan negara, dan transfer ke daerah harus diarahkan untuk memastikan pemerataan pembangunan.
"Sistem keuangan negara harus mampu menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, bukan kelompok tertentu," tegasnya.
Sumardin menjelaskan pentingnya sinergi kuat antara pemerintah pusat, daerah, dan pelaku usaha dalam menjaga stabilitas ekonomi, mendukung pertumbuhan, serta merespons perkembangan ekonomi digital.
"Kita harus memastikan bahwa perkembangan teknologi dan ekonomi digital dirasakan merata, termasuk di daerah-daerah yang selama ini tertinggal secara jaringan maupun akses informasi," tambahnya.
Sementara itu, Dosen Prodi Ilmu Hukum Universitas Maritim Raja Ali Haji Dr. Oksep Adhayanto mengatakan perlunya perhatian serius pemerintah pusat terhadap delapan provinsi berciri kepulauan, yang hingga kini masih tertinggal dalam berbagai indikator pembangunan.
Menurutnya, ketimpangan tersebut bersumber dari keterbatasan kewenangan serta minimnya dukungan fiskal yang memadai bagi daerah kepulauan.
"Provinsi kepulauan selalu berada di bawah rata-rata nasional dalam hal infrastruktur, pendidikan, hingga kesejahteraan. Padahal 40 persen pulau di Indonesia berada di wilayah kepulauan, semestinya kebijakan negara juga memberi keberpihakan pada karakter geografis ini," ucapnya.
Lebih jauh, ia menyoroti belum terbitnya Peraturan Pemerintah tentang daerah provinsi berciri kepulauan yang telah diamanatkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Asep menilai ketiadaan regulasi tersebut menyebabkan daerah tidak dapat mengelola potensi besar yang dimiliki, termasuk pendapatan dari sektor kelautan.
Di kesempatan yang sama, Dekan FISIPOL Universitas Riau Kepulauan Askarmin Harun mengkritisi implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah.
Menurutnya, sentralisasi kewenangan melalui opsi pajak serta kebijakan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 menyebabkan pendapatan asli daerah berkurang. Hal ini kemudian menyebabkan pembangunan dan kesejahteraan di tingkat lokal tidak merata.
Askarmin pun menekankan pentingnya prinsip pengelolaan keuangan negara yang profesional, terbuka, dan bertanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan nasional.
"Setiap perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan, baik di pusat maupun daerah, wajib mempertahankan kepentingan masyarakat secara menyeluruh," pungkasnya.
Sebagai informasi, selain akademisi diskusi ini juga diikuti oleh anggota Badan Pengkajian MPR RI antara lain Heri Gunawan dari Fraksi Gerindra; H. A. Bakri, dari Fraksi PAN; dan Yance Samonsabra dari kelompok DPD.
Lihat juga Video: Menakar Kekuatan DPD dan Otonomi Daerah di Era Prabowo
(akn/akn)