FGD Badan Pengkajian MPR Mengulas Dinamika Pemerintahan Daerah dan Desa

FGD Badan Pengkajian MPR Mengulas Dinamika Pemerintahan Daerah dan Desa

Renaldi Saputra - detikNews
Selasa, 02 Des 2025 11:20 WIB
FGD Badan Pengkajian MPR Mengulas Dinamika Pemerintahan Daerah dan Desa
Foto: MPR
Jakarta -

Badan Pengkajian MPR Kelompok III menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema 'Desentralisasi, Otonomi Daerah, Pemerintahan Daerah dan Desa' di Yogyakarta. Berbagai isu dibahas dalam forum ini, mulai dari pemerintahan daerah, hubungan pusat-daerah, Pilkada, hingga dualisme pengaturan desa.

FGD ini diikuti oleh anggota Badan Pengkajian MPR, yakni Sularso, S.E. (anggota DPD dari Papua Selatan), Dr. I Wayan Sudirta (PDI Perjuangan), dan Dr. H. Hilmy Muhammad, MA (anggota DPD dari DIY). Adapun tiga narasumber yang hadir adalah Dr. Arie Sujito, S.Sos., M.Si. (sosiolog Universitas Gadjah Mada), Prof. Dr. Eny Kusdarini, S.H., M.Hum. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Yogyakarta), dan Dr. Idul Rishan, S.H., L.L.M. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia).

Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR, Dr. Hj. Hindun Anisah, MA, yang memimpin jalannya FGD, dalam pengantarnya menyampaikan sejumlah isu penting yang menjadi fokus diskusi, salah satunya mengenai Bab VI UUD NRI Tahun 1945 terkait pemerintahan daerah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kita diskusikan apakah rumusannya sudah cukup ideal dan masih relevan dengan perkembangan zaman, atau mungkin memerlukan penajaman dan penyesuaian," ujar Hindun, dalam keterangan tertulis, Selasa (2/12/2025).

Isu lainnya berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah. Ia menyampaikan konstitusi sebenarnya menegaskan perlunya hubungan yang seimbang, baik dalam kewenangan, kelembagaan, keuangan, maupun pengawasan. Namun, menurutnya, dalam praktik masih terjadi tarik-menarik kepentingan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

ADVERTISEMENT

Berikutnya, isu yang turut dibahas adalah mengenai sistem Pilkada. Ia menjelaskan Pasal 18 ayat 4 konstitusi mengamanatkan kepala daerah dipilih secara demokratis. Ia kemudian mempertanyakan makna dari frasa tersebut, apakah Pilkada langsung merupakan satu-satunya mekanisme yang dianggap demokratis atau ada sistem lain yang juga dapat memenuhi prinsip demokrasi.

"Kalau kita melihat Pilkada 2024 kemarin, banyak menimbulkan persoalan. Mulai dari ongkos politik yang mahal, polarisasi sosial, gangguan pada hubungan dengan pemerintah pusat, juga antara pemerintah daerah, kabupaten dan provinsi," ungkapnya.

Hindun juga mengungkapkan isu mengenai desa menjadi salah satu bahasan FGD Badan Pengkajian Kelompok III ini. Dalam Pasal 18B UUD NRI Tahun 1945 menegaskan pengakuan pada kesatuan masyarakat hukum adat.

"Di pasal itu belum tercantum secara eksplisit kata 'desa'. Apakah dengan rumusan pasal 18B yang sekarang ada, poin-poin yang ada di Pasal 18B, apakah sudah cukup mencerminkan komitmen negara pada pemerintahan daerah di tingkat paling bawah. Ataukah kita perlu mencantumkan secara eksplisit kata 'desa' di situ," katanya.

Selain itu, Hindun Anisah juga menyoroti masih adanya dualisme dalam pengaturan desa. Ia menjelaskan desa di satu sisi dipahami sebagai entitas sosiologis dan kultural, namun di sisi lain juga ditetapkan sebagai bagian dari struktur pemerintahan.

"Yang terjadi kita melihat problem kelembagaan karena desa ini diurus oleh lebih satu kementerian, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa, Kementerian Keuangan. Banyak kementerian yang mengatur tentang desa. Karena banyak yang mengatur maka terjadi tumpang tindih kewenangan dan implementasi program," jelasnya.

Sementara itu, Arie Sujito dalam paparannya tentang 'Demokratisasi Lokal dan Desa di Indonesia' menyampaikan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang kemudian diperbarui melalui UU No. 3 Tahun 2024, pada dasarnya telah menghidupkan desa. Menurutnya, regulasi tersebut mendorong kemajuan desa secara signifikan.

"Ada gerakan partisipasi masyarakat, ekonomi desa berproses seiring program dan praktik pemberdayaan, kerjasama antar-desa dan tumbuh sejumlah inovasi komunitas, ada nadi demokrasi kewargaan di level praksis desa," kata Arie.

Namun, Arie Sujito menjelaskan bahwa seiring menguatnya teknokrasi di tingkat daerah dan desa, terjadi kemerosotan dalam implementasi kebijakan. Ia menilai desa justru mengalami birokratisasi dan instrumentasi yang berlebihan, sementara kewenangan desa secara sistematis menguap ke level pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dengan dalih justifikasi dan sinkronisasi administrasi keuangan.

Kondisi tersebut juga memunculkan fragmentasi kebijakan serta kecenderungan resentralisasi kontrol negara. Arie turut menambahkan tumpang tindih kewenangan antara Kemendagri dan Kementerian Desa telah menciptakan inefisiensi sistemik.

"Yaitu terjadi tumpang tindih program, program serupa dengan pendekatan berbeda dari dua kementerian seringkali tidak sinkron bahkan kontradiktif di lapangan, menimbulkan kebingungan birokrasi, menciptakan beban administratif berat bagi aparatur desa karena pelaporan ganda dengan format dan prosedur berbeda, dan menyebabkan inefisiensi anggaran," katanya.

Di sisi lain, Eny Kusdarini menyampaikan pemisahan kewenangan antara kementerian yang mengurus desa dan kementerian yang mengatur pemerintahan daerah telah menyebabkan tumpang tindih kebijakan dan duplikasi program.

"Desa sering diperlakukan sebagai objek pembangunan dan bukan pelaku utama tata kelola lokal. Model pendekatan birokratis dan seragam juga tidak sepenuhnya sesuai dengan realitas keberagaman desa di Indonesia," kata Eny.

Eny menambahkan solusi untuk dualisme ini dari sisi pemerintahan perlu diarahkan pada harmonisasi regulasi dan institusi yang menangani desa.

"Saat ini, kebijakan desa sering ditentukan oleh dua atau lebih kementerian berbeda, sehingga menciptakan duplikasi program dan tumpang tindih kewenangan," imbuhnya.

Eny mengusulkan sebaiknya urusan desa ditangani oleh kewenangan satu atap supaya tidak ada tumpang tindih kewenangan lembaga yang membawahi urusan desa. Di samping itu hal ini menghindari kebijakan yang parsial dan membingungkan pada implementasi di tingkat desa.

Sementara itu, Idul Rishan menyoroti persoalan persiapan pemilu lokal menyusul putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilihan umum nasional dan pemilihan umum lokal. Berdasarkan putusan tersebut, pemilu serentak nasional akan digunakan untuk memilih anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden. Beberapa waktu setelahnya, akan digelar pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, serta memilih gubernur, bupati, dan wali kota.

"Tindak lanjut Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 dilakukan dengan Perubahan UU Pemilu dan UU Pemilihan Kepala Daerah yang akan dimasukan dalam metode Kodifikasi UU Pemilu," kata Idul.

Idul Rishan menjelaskan putusan MK tersebut berimplikasi pada munculnya kekosongan masa jabatan kepala daerah. Untuk mengisi kekosongan itu, menurutnya, dapat dilakukan melalui mekanisme pengangkatan penjabat kepala daerah.

"Pilihan ini jauh lebih rasional ketimbang mengangkat pejabat definitif," ujarnya.

Sementara itu, ia menambahkan perpanjangan masa jabatan anggota DPRD selama masa transisi bertentangan dengan prinsip konstitusionalisme modern yang menekankan pembatasan masa jabatan secara tegas dan definitif.

"Kekosongan masa jabatan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota jauh lebih kompleks isunya. UUD mengatur secara limitatif prosedur pengisian jabatan DPRD yang hanya bisa dilakukan melalui pemilihan secara langsung," pungkasnya.

(ega/ega)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads