Fraksi PKS DPRD DKI Tolak Raperda Penataan Kecamatan-Kelurahan di Jakarta

Fraksi PKS DPRD DKI Tolak Raperda Penataan Kecamatan-Kelurahan di Jakarta

Brigitta Belia Permata Sari - detikNews
Rabu, 19 Nov 2025 16:08 WIB
Rapat paripurna DPRD DKI Jakarta. (Brigitta/detikcom)
Foto: Rapat paripurna DPRD DKI Jakarta. (Brigitta/detikcom)
Jakarta -

DPRD DKI Jakarta menggelar rapat paripurna terkait Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan, Pengubahan Nama, Batas, dan Penghapusan Kecamatan dan Kelurahan. Dalam rapat itu, hanya Fraksi PKS yang menolak.

"Kita sudah mendengarkan jawaban dari fraksi-fraksi. Dari seluruh fraksi, hanya Fraksi PKS yang menolak. Sementara fraksi-fraksi lainnya akan melanjutkan pembahasan di alat kelengkapan dewan. Detailnya nanti dibahas di sana," kata Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Wibi Andrino usai memimpin Rapat di DPRD DKI Jakarta, Rabu (19/11/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Raperda tersebut merupakan turunan langsung dari UU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta yang untuk pertama kalinya mengatur bahwa perubahan wilayah administratif tingkat kecamatan dan kelurahan kini wajib ditetapkan melalui Peraturan Daerah, bukan lagi melalui keputusan gubernur sebagaimana aturan sebelumnya.

Dalam rapat itu, Fraksi PKS menjadi pihak yang paling tegas menolak. Anggota DPRD Fraksi PKS, Inad Luciawaty, menilai Raperda ini tidak memiliki urgensi karena status peralihan Jakarta dari DKI menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) belum sepenuhnya berlaku secara hukum. Menurutnya, membahas penataan wilayah saat status ibu kota masih belum jelas justru berisiko memicu keresahan dan kekacauan pelayanan publik.

ADVERTISEMENT

"Fraksi PKS menegaskan bahwa perubahan kecamatan dan kelurahan akan berdampak langsung pada dokumen kependudukan, perbankan, catatan sipil, hingga akses pendidikan, yang apabila dipaksakan tanpa persiapan matang akan memicu kegaduhan administratif," kata Inad dalam Rapat Paripurna.

Pihaknya juga mengingatkan perubahan batas wilayah dapat membuka potensi konflik agraria, salah satu masalah klasik yang hingga kini belum sepenuhnya terselesaikan di Jakarta. Mereka menilai Raperda ini tidak lahir dari aspirasi masyarakat dan tidak termasuk kebutuhan mendesak.

PKS mendorong agar Pemprov justru menuntaskan Raperda yang lebih fundamental, seperti Perda Administrasi Kependudukan yang saat ini belum memiliki dasar hukum setingkat Perda. Dengan seluruh pertimbangan itu, PKS secara resmi menolak Raperda tersebut untuk dilanjutkan ke tahap pembahasan.

"Dengan mempertimbangkan seluruh argumentasi yang telah kami sampaikan, maka Fraksi Partai Keadilan Sejahtera menyatakan sikap menolak dengan tegas Rancangan Peraturan Daerah ini untuk dilanjutkan ke tahap pembahasan berikutnya," ungkapnya.

Berbeda dengan PKS, Fraksi PDI Perjuangan menyatakan menyambut baik dan mendukung penyusunan Raperda sebagai bagian dari penyesuaian terhadap UU DKJ, terutama karena perubahan regulasi kini mewajibkan penataan kecamatan dan kelurahan diatur melalui Perda.

Anggota DPRD DKI Fraksi PDIP Lauw Siegvrieda, menekankan penataan wilayah bukan hanya soal administrasi, tetapi juga harus memperhatikan aspek sosiologis, antropologis, sejarah, dan kultur masyarakat setempat. PDIP mengingatkan pentingnya pelibatan unsur akar rumput seperti RT, RW, LMK, tokoh masyarakat, serta keterlibatan sejarawan dan budayawan dalam proses kajian, terutama terkait perubahan nama wilayah agar identitas historis Jakarta tidak lenyap hanya karena penyesuaian administratif.

"Dalam hal penetapan batas wilayah, fraksi ini mendorong agar ornamen khas Jakarta digunakan sebagai penanda batas resmi. PDIP menekankan bahwa pemekaran wilayah adalah keniscayaan dalam konteks peningkatan pelayanan publik, tetapi hanya dapat dilakukan jika berdampak langsung pada peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan efektivitas pemerintahan," kata Lauw.

Selain itu, Fraksi Gerindra mengambil posisi mendukung dengan sejumlah catatan teknis dan hukum. Anggota DPRD Fraksi Gerindra Nuchbatillah mempertanyakan potensi konflik norma di dalam Raperda, salah satunya terkait inkonsistensi antara pasal yang mencabut Keputusan Gubernur Nomor 3 Tahun 2004 dan pasal lain yang menyatakan Kepgub tersebut masih berlaku. Gerindra meminta pencabutan total regulasi lama agar tidak terjadi tumpang tindih.

"Gerindra meminta penetapan jumlah penduduk minimal kelurahan tidak menggunakan formula rata-rata yang bisa berubah setiap tahun, melainkan angka mutlak yang ditetapkan periodik atau mengacu pada lembaga resmi seperti BPS," ucapnya.

Di sisi lain, Gerindra menyoroti perlunya definisi jelas mengenai Forum Komunikasi Kelurahan dan Kecamatan sebagai wadah resmi konsultasi publik. Transparansi informasi kepada masyarakat juga menjadi tuntutan, termasuk kewajiban pemerintah mengumumkan rencana penataan wilayah secara terbuka sebelum musyawarah dilakukan.

Sementara itu, Fraksi NasDem memberikan serangkaian catatan berbasis pelayanan publik. Anggota fraksinya, Riano Ahmad, menyoroti ketimpangan fasilitas dasar di sejumlah wilayah yang menurutnya wajib menjadi pertimbangan dalam penataan wilayah. NasDem mencontohkan tiga kelurahan di Tamansari yang hingga kini belum memiliki pos pemadam kebakaran, kelurahan yang tak memiliki Puskesmas, serta wilayah yang kekurangan sekolah negeri.

"Bahkan di Tambora, warga disebut masih kesulitan mendapatkan layanan transportasi umum sejak penghentian mikrolet M-24," kata Riano.

Riano menilai bahwa beban layanan publik, kepadatan penduduk, dan karakter sosial-ekonomi harus menjadi indikator utama dalam menata wilayah, bukan hanya luas dan jumlah penduduk.

"Kami juga mendorong perlunya analisis rasio beban aparatur, mekanisme konsultasi publik yang lebih luas, hingga penyusunan peta jalan penataan wilayah untuk jangka 5-10 tahun agar pemekaran tidak dilakukan secara parsial," imbuhnya.

Lihat juga Video: Pramono Kejar Target Penyelesaian Perda 2025

(bel/idn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads