Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri membongkar jaringan terorisme yang merekrut anak-anak. Ada ratusan anak direkrut oleh jaringan ini lewat game online.
Dalam pengungkapan kasus ini, Densus telah menangkap lima orang tersangka. Mereka ditangkap dalam setahun.
"Dalam setahun ini ada lima tersangka (dewasa) yang sudah diamankan oleh Densus 88," kata juru bicara Densus 88 Antiteror, AKBP Mayndra Eka Wardhana, dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (18/11/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kelima tersangka, menurut Mayndra, ditangkap lewat tiga kali pengungkapan sejak akhir 2024 hingga November 2025. Terdapat lebih dari 110 anak dan pelajar yang teridentifikasi perekrutan oleh para tersangka.
"Pada tahun ini, di tahun 2025 sendiri, seperti kurang lebih lebih dari 110 (anak dan pelajar yang saat ini sedang teridentifikasi)," tuturnya.
Peran Para Tersangka
Pada kesempatan yang sama, Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menyebutkan kelima tersangka berperan sebagai perekrut dan pengendali komunikasi kelompok melalui media sosial.
"Atas peranannya merekrut dan memengaruhi anak-anak tersebut supaya menjadi radikal, bergabung dengan kelompok terorisme dan melakukan aksi teror," jelas Trunoyudo.
Kelima tersangka itu adalah:
1. FW alias YT (47);
2. LM (23);
3. PP alias BMS (37);
4. MSPO (18);
5. JJS alias BS (19).
Anak Terpapar Terorisme
Mayndra menyebutkan ada 17 anak yang diamankan karena terpapar jaringan teror sepanjang 2011-2017. Namun, pada 2025, jumlah itu naik signifikan.
"Densus 88 menyimpulkan bahwa ada tren yang tidak biasa dari tahun ke tahun, di mana pada tahun 2011-2017 itu Densus 88 mengamankan kurang lebih 17 anak dan ini dilakukan berbagai tindakan, tidak hanya penegakan hukum tetapi juga ada proses pembinaan," kata Mayndra.
"Namun, pada tahun ini, di tahun 2025 sendiri, seperti tadi disampaikan kurang lebih lebih ada 110 yang saat ini sedang teridentifikasi. Jadi artinya kita bisa sama-sama menyimpulkan bahwa ada proses yang sangat masif sekali rekrutmen yang dilakukan melalui media daring," lanjutnya.
Direkrut Lewat Medsos dan Game Online
Dia mengatakan korban dan pelaku hanya berinteraksi secara online dan tak saling. Densus mencatat ada setidaknya 110 anak berusia 10-18 tahun yang diduga telah terekrut jaringan terorisme. Para korban berasal dari 23 provinsi di Tanah Air, mayoritas dari Jawa Barat dan DKI Jakarta.
"Tadi totalnya ada 23 provinsi yang di dalam provinsi tersebut ada anak-anak yang terverifikasi oleh Densus 88. Tapi bukan berarti provinsi lain aman karena memang penyelidikan masih akan terus dilakukan," jelas dia.
"Provinsi yang di dalamnya paling banyak terpapar anak terhadap paham ini adalah Provinsi Jawa Barat, kemudian Jakarta," sambung Mayndra.
Mayndra menjelaskan, propaganda awal biasanya disebar melalui platform terbuka seperti Facebook, Instagram, dan game online. "Jadi, tentunya yang di platform umum ini akan menyebarkan dulu visi-visi utopia yang mungkin bagi anak-anak itu bisa mewadahi fantasi mereka sehingga mereka tertarik," tutur Mayndra.
"Seperti tadi disebutkan oleh Pak Dirjen dari Komdigi, ada beberapa kegiatan yang dilakukan anak-anak kita ini ya, bermain game online. Nah di situ mereka juga ada sarana komunikasi chat, gitu ya. Ketika di sana terbentuk sebuah komunikasi, lalu mereka dimasukkan kembali ke dalam grup yang lebih khusus, yang lebih terenkripsi, yang lebih tidak bisa terakses oleh umum," terangnya.
Anak-anak Dihimpun dalam Satu Platform
Kemudian target yang dianggap potensial dihimpun melalui platform yang lebih khusus, seperti WhatsApp hingga Telegram.
"Dari awal memang tidak langsung menuju kepada ideologi terorisme, tetapi anak-anak dibikin tertarik dulu, kemudian mengikuti grup, kemudian diarahkan kepada grup yang lebih privat, grup yang lebih kecil, dikelola oleh admin ini ya. Di situlah proses-proses indoktrinasi berlangsung," ujar Mayndra memaparkan.
Dia memastikan anak-anak yang diidentifikasi sebagai korban ditangani bersama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Kementerian Sosial, hingga berbagai pemangku kepentingan lainnya.
Pemain Lama
Mayndra juga mengungkap para pelaku merupakan pemain lama. Sebab, ada yang pernah menjalani proses hukum.
"Dalam penegakan hukum ini, dua kategori ini ada ya. Pertama, pemain lama yang juga mencoba merekrut anak-anak kembali ya, dia sudah menjalani proses hukum, kemudian setelah lepas dia coba lagi merekrut beberapa anak," kata Mayndra.
"Kemudian, Densus mengembangkan sampai dengan saat ini kita mendapati empat pelaku baru lainnya," lanjut dia.
Dia hanya mengatakan bahwa pemain lama itu tergabung dengan jaringan Ansharut Daulah. Dia mengatakan jaringan itu berafiliasi dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
"Jadi untuk pemain lama yang ditangkap pertama kali oleh Densus 88, diketahui jaringannya berasal dari jaringan ISIS atau Ansharut Daulah," kata Mayndra.
Para tersangka, menurut dia, menggunakan media sosial hingga game online untuk menarik perhatian anak-anak. Mereka diduga menggunakan latar belakang agama untuk mendoktrin anak dengan paham terorisme.
"Mungkin kalau di dalam jaringan terorisme ini dengan menggunakan latar belakang ideologi kanan atau agama. Mungkin ada pertanyaan seperti ini ya, 'Manakah yang lebih baik antara Pancasila dengan kitab suci?' gitu salah satu jebakan pertama," tuturnya.
Faktor Kerentanan Anak
Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, menjelaskan kerentanan anak terpapar paham radikal dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Salah satunya bullying dan masalah keluarga.
"Dari hasil asesmen kerentanan anak dipengaruhi oleh sejumlah faktor sosial, di antaranya adalah bullying dalam status sosial broken home dalam keluarga," ucap Trunoyudo
"Kemudian, kurang perhatian keluarga, pencarian identitas jati diri, marginalisasi sosial, serta minimnya kemampuan literasi digital dan pemahaman agama," imbuhnya.











































