Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menangani 8.320 konten bermuatan radikalisme dan terorisme dalam satu tahun terakhir. Jumlah itu ditangani berdasarkan patroli siber hingga pengaduan.
"Kalau berbicara data, dari 20 Oktober 2024 sampai 16 November 2025 kemarin, ada 8.320 konten radikal terorisme yang sudah masuk atau kita tangani," kata Dirjen Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Alexander Sabar, dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (18/11/2025).
Dia menyebutkan platform Meta menjadi lokasi terbanyak temuan konten radikal. Kemudian, disusul oleh Google, TikTok, X, Telegram, layanan file sharing, Snack Video, dan 10 situs lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan posisi terbesar ada di platform Meta, diikuti Google, TikTok, X, Telegram, file sharing, Snack Video, dan ada situs, 10 situs juga kita tindak lanjut," ujarnya.
Dari total 8.320 konten itu, sebagian besar merupakan laporan dari kementerian dan lembaga seperti Densus 88 Antiteror Polri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) hingga TNI. Dia mengatakan penanganan konten dilakukan sesuai aturan.
"Untuk melaksanakan tugas ini untuk menjamin bahwa apa yang kita lakukan, tindakan yang kita lakukan itu adalah berdasarkan legalitas, berdasarkan hukum, dan tentunya proporsional," ujar Alex.
Dia mengatakan pihaknya selalu melakukan prosedur verifikasi bersama aparat terkait saat mendapat aduan konten berisi radikalisme dan terorisme. Dia mengatakan pembahasan dilakukan untuk menentukan konten itu akan diblokir atau dilakukan tindakan lain.
"Ketika kita mengenali sesuatu konten atau situs, ada proses verifikasi yang kita lakukan, dan itu dilakukan dengan pihak terkait, kementerian lembaga terkait, dengan Densus dalam hal ini, dan juga dengan BNPT sebelum kita melakukan tindakan apakah itu take down, permintaan take down, ataupun pemutusan akses atau pemblokiran," ujarnya.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkap fenomena baru rekrutmen terorisme melalui media sosial hingga game online. Pola perekrutan itu menyasar anak-anak dan pelajar.
"Rekrutmen secara online ini memang sedang tren ya," kata Eddy.
Dia menyebutkan pelaku biasanya melakukan peniruan atas apa yang dilihat dari di dunia digital, yang mereka istilahkan sebagai 'memetic violence'. Hal itu dilakukan untuk mendapat pengakuan dari lingkungan atau kelompoknya.
"Bahwa di dalam kajian psikologis ya, itu ada istilahnya namanya memetic radicalization atau memetic violence ya. Jadi dia lebih kepada meniru ide atau perilaku," jelas Eddy











































