Panitia kerja (Panja) RUU KUHAP menyepakati saksi penyandang disabilitas dapat memberikan keterangannya bebas tanpa hambatan dan setara dengan saksi lainnya. Panja menilai saksi penyandang disabilitas tidak harus dibedakan dengan saksi lainnya.
Kesepakatan itu diambil pada rapat Panja RUU KUHAP, di ruang rapat Komisi III DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/11/2025). Mulanya tim perumus dan tim sinkronisasi membacakan penambahan rumusan pada penjelasan Pasal 137.
"Ketentuan ini menyimpang dari pasal 145 dan pasal 135, yaitu terkait penyandang disabilitas, saksi penyandang disabilitas memiliki kekhususan pengaturan, yaitu setiap orang yang dapat memberikan keterangan mengenai suatu peristiwa pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia dengar sendiri, atau pun tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangannya relevan dengan kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, atau orang yang memiliki dan atau menguasai data dan atau informasi yang berkaitan dengan perkara pidana yang diperiksa, setiap saksi termasuk penyandang disabilitas berhak memperoleh dukungan untuk memberikan keterangannya secara bebas dan tanpa hambatan," bunyi Pasal 137.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua Panja Habiburokhman mengatakan penyandang disabilitas memang memiliki kekhususan. Di
a menyinggung soal kemampuan indra.
"Jadi intinya gini ya kalau saksi yang umum yang klasik, melihat sendiri mendengar sendiri mengalami sendiri," kata Habiburokhman.
"Kalau orang disabilitas ya kalau nggak salah dia malah punya six sense, jadi dia bisa tahu membedakan orang, dia nggak ngelihat, dia bisa tahu membedakan orang tanpa melihat, kemampuan ini berbeda dengan orang yang bisa melihat, kita nggak punya kayak indra kayak begitu," sambungnya.
Sebab itu, menurutnya, perlu ada pengaturan tersendiri mengenai saksi penyandang disabilitas. Dia mengatakan saksi penyandang disabilitas tidak harus melihat atau mendengar jika akan menjadi saksi.
"Ada pengaturan sendiri nggak harus melihat sendiri, mungkin kan buta, tapi dia bisa membedakan dan ini tidak berlaku untuk orang yang tidak disabilitas. Kalau orang yang tidak disabilitas harus melihat sendiri mengalami sendiri," katanya.
Wamenkum Eddy Hiariej menyetujui penambahan penjelasan tersebut. Menurutnya, hal itu sesuai dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
"Saya setuju, Pak, karena di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual itu mengenai saksi disabilitas tidak dibedakan dengan yang lain, karena mereka memiliki kekhususan sendiri itu di luar sebagai sesuatu yang tadi ketua jelaskan, jadi tidak menjadi soal kalau dia diatur secara tersendiri, artinya afirmasi, saya setuju itu," ujar Eddy.
Habiburokhman pun menanyakan persetujuan para peserta rapat. Kemudian, para peserta rapat pun menyetujuinya.
Selanjutnya, Panja juga menyepakati terkait fasilitas bagi kebutuhan khusus perempuan dan kelompok rentan. Panja menilai negara wajib memberikan perlindungan bagi kelompok rentan. Berikut bunyi draf pasal 5 ayat 1:
Pasal 5 ayat 1, "kewenangan penyelidik, melakukan asesmen dan mengupayakan fasilitas dan atau rujukan bagi kebutuhan khusus perempuan dan kelompok rentan."
Usulan penjelasannya ialah asesmen yang dimaksud antara lain melakukan penilaian terhadap kondisi fisik psikologis, sosial dan keamanan perempuan, dan kelompok rentan yang terlibat dalam perkara pidana baik sebagai korban, saksi, tersangka maupun terdakwa.
Kemudian, usulan penjelasan mengupayakan fasilitas atau rujukan bagi kebutuhan khusus perempuan dan kelompok rentan ialah memastikan bahwa proses penyelidikan berjalan dengan memperhatikan kebutuhan khusus, termasuk penyediaan fasilitas yg ramah perempuan dan anak, pendamping psikologis, penerjemah, juru bahasa isyarat atau layanan medis.
Eddy mengaku menyetujui usulan tersebut. Menurutnya kelompok rentan perlu diberikan perlindungan.
"Kita harus memberikan perlindungan kepada mereka kelompok rentan, ini memang kita terkait kebutuhan anggaran dan sebagainya, tapi di satu sisi kita pun harus memberikan penghormatan kepada hak mereka," ujarnya.
Anggota Komisi III DPR Bimantoro Wiyono pun sependapat dengan Eddy. Menurutnya, juru bahasa juga diperlukan oleh para penyandang disabilitas.
"Saya sepakat dengan Pak Wamen, menurut saya kemarin dari kawan-kawan organisasi disabilitas ini menjelaskan bahwa butuh akan juru bahasa salah satunya, juru isyarat, karena mereka memiliki hak yang sama, jadi kalau kita mengacu pada HAM, tentu mereka punya hak yang sama juga dari situ," papar Bimantoro.
Habiburokhman mengatakan Presiden Prabowo Subianto telah memberikan arahan untuk memperhatikan persoalan kelompok rentan. Habiburokhman pun kemudian menanyakan persetujuan para peserta rapat.
"Ya kalau arahannya Pak Prabowo sih, memang kita concern terhadap persoalan begini, terhadap hak-hak perempuan, kelompok-kelompok rentan, soal konsekuensi biaya tar Pak Prabowo aja yang cari, tenang aja, aman, oke? Insyaallah ya," ujar Habiburokhman.
Selanjutnya, pada rapat Kamis (13/11/2025), panja menyepakati anak-anak dan penyandang disabilitas mental dapat menjadi saksi tanpa disumpah. Aturan tersebut disesuaikan dengan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) terkait disabilitas. Berikut bunyi Pasal 208 RUU KUHAP:
Seseorang yang dapat diminta memberikan keterangan tanpa sumpah atau janji adalah
a) Anak yang belum berumur 14 tahun atau
b) Penyandang disabilitas mental dan atau disabilitas intelektual
"Gimana? Aman?" tanya Habiburokhman yang disetujui para peserta rapat.
Lihat juga Video Pramono Resmi Buka Job Fair Disabilitas: Mereka Harus Dapat Peran Nyata











































