Satgassus Optimalisasi Penerimaan Negara Polri dan Ditjen Bea dan Cukai mengungkap dugaan pelanggaran ekspor 1.802 ton produk turunan crude palm oil (CPO) berkedok komoditas fatty matter. Disebutkan, modus itu dilakukan untuk menghindari kewajiban ekspor pada komoditas kelapa sawit dan produk turunannya.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjelaskan bahwa komoditas fatty matter masuk kategori yang tidak dikenakan bea keluar maupun pungutan ekspor dan bukan komoditas yang termasuk larangan atau pembatasan ekspor.
Sebagai informasi, fatty matter adalah istilah materi lemak atau asam lemak, terutama yang dihasilkan sebagai produk samping dari proses industri seperti pembuatan sabun dan biodiesel.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan komoditas turunan kelapa sawit berpotensi untuk dikenai bea keluar dan pungutan ekspor. Hal itu sesuai dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 32 Tahun 2024 tentang Klasifikasi Komoditas Turunan Kelapa Sawit.
"Nah, kita ingin mendalami lebih lanjut, karena dari modus yang terjadi, terjadi upaya-upaya untuk menyiasati, penghindaran terhadap pajak, yang tentunya ini sering kali terjadi dan pada saat ini terjadi pada komoditas jenis fatty matter yang oleh pemerintah tidak dikenakan bea keluar maupun pungutan ekspor, serta bukan komoditas yang termasuk dalam kategori larangan dan atau pembatasan ekspor," jelas Kapolri dalam jumpa pers di Buffer Area MTI NPCT 1 Jalan Terminal Kalibaru Raya, Cilincing, Jakarta Utara, Kamis (6/11/2025).
Jenderal Sigit menyebutkan aturan pembebasan bea keluar itu dijadikan celah untuk menyelundupkan dan menghindari pajak. Praktik itu mengakibatkan kebocoran keuangan negara.
"Ini yang tentunya akan kita lakukan pendalaman terhadap beberapa perusahaan yang lain dan nanti apabila memang kita perlukan untuk melakukan proses penegakan hukum dan juga pengembalian kerugian terhadap negara, tentunya ini akan kita lakukan," ucap Sigit.
Eks Kabareskrim Polri itu memastikan akan melanjutkan pendalaman terkait ekspor komoditas fatty matter. Dia menerangkan, nilai transaksi komoditas fatty matter mencapai Rp 2,8 triliun sepanjang 2025.
"Jadi, ini yang tentunya menjadi catatan penting setelah kita melakukan pendalaman bahwa dari cross-check, barang yang akan diekspor dengan barang negara yang akan menerima impor, ternyata catatannya berbeda. Itulah yang kemudian kita lakukan pendalaman," tutur Sigit.
"Tentunya ada juga indikasi-indikasi yang mungkin hampir mirip, hampir sama, dan apabila ini kita lakukan pendalaman, tentunya kita bisa menyelamatkan potensi kerugian negara dari kebocoran-kebocoran akibat penghindaran pembayaran pajak dan ini tentunya sesuai dengan harapan dari Bapak Presiden," ungkap dia.
Dia mengatakan pengembangan kasus akan ditangani oleh Ditjen Bea Cukai. Namun dia tak menutup kemungkinan Polri akan ikut mengusut jika ditemukan potensi pelanggaran hukum.
"Kita akan bicarakan dengan Dirjen Bea Cukai (terkait pengusutannya) yang jelas dari Satgas Optimalisasi kan sudah menemukan. Nanti begitu kita rapatkan di situ memang ada potensi penegakan hukum, potensi pelanggaran, menyangkut proses pelanggaran hukum apakah itu tipikor (tindak pidana korupsi) atau kasus yang lain tentunya akan kita rapatkan untuk kita lakukan penegakan hukum," terang Sigit.
"Yang utamanya tentunya kita ingin agar kebocoran-kebocoran yang sudah terjadi ini bisa kita kembalikan untuk negara," pungkasnya.
(ond/jbr)










































