Sidang kasus dugaan suap vonis lepas perkara minyak goreng (migor) memasuki babak akhir. Lima terdakwa terdiri atas hakim hingga panitera dalam perkara ini akan menjalani sidang tuntutan pekan depan.
"Insyaallah kan ini besok udah pembacaan tuntutan ya," kata ketua majelis hakim Effendi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (22/10/2025).
Lima terdakwa itu ialah mantan wakil ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta, mantan panitera muda perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara Wahyu Gunawan serta hakim Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom. Sidang tuntutan akan digelar pada Rabu (29/10).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sidang kita tunda insyaallah akan kita buka kembali satu Minggu ke depan, hari Rabu, tanggal 29 Oktober, satu hari setelah hari Sumpah Pemuda ya. Para terdakwa tetap dalam tahanan, sidang dinyatakan ditutup," ucap hakim.
Pengakuan Terdakwa Sumbang Uang Perkara
Dalam sidang tersebut, hakim terdakwa kasus dugaan suap vonis lepas perkara minyak goreng (migor), Djuyamto menjelaskan alasan menyumbangkan uang suap perkara tersebut untuk pembangunan kantor terpadu MWC Nahdlatul Ulama (NU) wilayah Kartasura.
Djuyamto mengaku saat itu merasa terpanggil memberikan sesuatu untuk tanah kelahirannya. Dia mengaku menyumbangkan uang suap perkara migor untuk pembangunan kantor NU agar kesalahannya tidak lebih fatal.
Maka, kata Djuyamto, dia menggunakan uang itu untuk kegiatan sosial yang bermanfaat seperti pembangunan kantor NU.
"Kenapa kalau terdakwa sudah merasa salah yang pertama, kenapa yang jumlah yang jauh lebih besar, kenapa tidak berhenti di situ? Itu maksud saya," tanya hakim anggota Adek Nurhadi.
"Kalau itu ditanyakan bisa saya jawab, saya itukan betul bahwa cara saya salah, cuma kemarin silakan nanti bisa Yang Mulia buka kembali. Bahwa saya itu merasa terpanggil untuk katakanlah memberikan sesuatu ke tanah kelahiran saya. Niat saya, tujuan saya seperti itu. Maka ketika saya melakukan sebuah kesalahan, dalam konteks penerimaan seperti itu, agar kesalahan saya tidak kemudian menjadi kesalahan yang lebih fatal lagi, maka saya gunakan uang yang saya peroleh dari kesalahan itu untuk hal-hal yang sifatnya kemanfaatan sosial," jawab Djuyamto.
"Apalagi saya aktif, saya bulan Juni awal itu ditunjuk sebagai ketua panitia pembangunan kantor MWC NU. NU-nya tidak salah, cara saya yang salah, cara saya berkhidmat, cara saya berbakti, cara saya mengabdi katakanlah untuk kepentingan sosial dan budaya. Saya mengakui salah. Itu, Yang Mulia," imbuhnya.
Dia mengakui kesalahannya telah membuat nama NU terseret karena memberi uang sumbangan pembangunan tersebut dari uang suap perkara migor. Dia mengakui caranya keliru.
"Terdakwa ada merasa salah nggak? Ada merasa nggak? Ikut menyeret-nyeret organisasi keagamaan dengan kejadian itu?" tanya hakim.
"Tentu saja saya sampaikan lembaga NU-nya, jamiyahnya NU tidak salah karena niat saya kan untuk berkhidmat tapi caranya yang keliru," jawab Djuyamto.
Djuyamto mengaku sudah menempuh cara yang sesuai dengan prosedur untuk mencari dana pembangunan kantor NU tersebut. Dia mengatakan sudah menyebarkan proposal pembangunan kantor tersebut.
"Ya tadi kan terdakwa kan bilang menerangkan begini, karena tahu itu salah, untuk mengurangi, kan itu yang saya tangkap. Betul nggak? Diserahkan ke situ, lah itu kan sebenernya menjerumus, artinya kalau tidak diberikan kepada organisasi, itu kan tidak menyeret-nyeret nama organisasi, terlepas organisasi itu tahu atau tidak tahu. Itu maksud saya, itu bukan malah untuk mengurangi. Karena prinsipnya, dan saya yakin terdakwa tahu barangkali, Allah itu maha baik dan ndak mau Allah menerima sesuatu yang tidak baik," ujar hakim.
"Itu sangat saya sadari Yang Mulia, makanya tadi saya mengatakan saya sangat salah, cara saya jelas salah. Sudah saya akui karena begini mohon izin, Yang Mulia, kami sebenernya juga sudah menempuh kok cara-cara yang dibenarkan melalui katakanlah pemberian proposal," jawab Djuyamto.
"Bahkan boleh nanti Yang Mulia cek, saya dengan temen-temen hakim yang afiliasi NU ada membentuk grup WA namanya Nurani. Saya juga sampaikan ke sana mohon bantuan, mohon bantuan, proposal, dan sebagainya, tapi hampir setahun nyatanya tidak. Artinya, cara-cara yang sesuai dengan ketentuan itu sudah saya tempuh," imbuhnya.
Sebagai informasi, majelis hakim yang menjatuhkan vonis lepas ke terdakwa korporasi migor diketuai hakim Djuyamto dengan anggota Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom. Jaksa mendakwa Djuyamto, Agam, Ali, menerima suap dan gratifikasi secara bersama-sama terkait vonis lepas tersebut.
Total suap yang diterima diduga sebesar Rp 40 miliar. Uang suap itu diduga diberikan Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M Syafei selaku pengacara para terdakwa korporasi migor tersebut.
Uang suap Rp 40 miliar itu dibagi bersama antara Djuyamto, Agam, Ali, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta, serta mantan panitera muda perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan. Dalam surat dakwaan jaksa, dari total suap Rp 40 miliar, Arif didakwa menerima bagian Rp 15,7 miliar, Wahyu menerima Rp 2,4 miliar, Djuyamto menerima bagian Rp 9,5 miliar, serta Agam dan Ali masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
Simak juga Video 'Reaksi Eks Ketua PN Jaksel saat Terima Uang Suap Kasus Migor':
(mib/idn)