Aroma rendang dan bumbu kari tercium sejak langkah pertama menapaki tangga menuju lantai satu. Di atas pintu, tampak atap gonjong menjulang-simbol rumah gadang khas Minang yang berdiri gagah di tengah hiruk-pikuk Tokyo. Dari tempat itulah Nurhanifa, atau akrab disapa Uni Ipeh, menjaga rasa dan rindu akan kampung halamannya di Sumatera Barat.
Sudah hampir dua dekade Uni Ipeh menetap di Jepang. Perantau asal Padang ini kini dikenal sebagai pemilik Rumah Makan Padang Amanah Mande, yang berlokasi di Kanagawa Ken, Atsugi, Asahicho, sekitar satu jam perjalanan dari pusat Tokyo.
"Awalnya cuma ingin jualan kecil-kecilan, tapi ternyata dari situ berkembang terus," ujarnya lembut saat ditemui di Tokyo, Sabtu (18/10/2025).
Ceritanya dimulai jauh sebelum wangi rendang memenuhi ruangannya. Ipeh menamatkan kuliah di Universitas Bung Hatta, jurusan Sastra Jepang, pada 2006. Tak lama setelah itu, ia terpilih menerima beasiswa Monbukagakusho dari Pemerintah Jepang. Tahun 2007, ia pun berangkat dan melanjutkan pendidikan di Yokohama National University melalui program feature training untuk guru bahasa.
"Programnya satu setengah tahun, tapi setelah itu aku lanjut lagi ke S2, lalu S3. Sampai sekarang masih di situ juga, masih berjuang," katanya sambil tertawa kecil.
Tahun-tahun kuliahnya membawa Ipeh bertemu pria Jepang yang kini menjadi suaminya. Ia mengenalnya lewat teman, dan hubungan mereka perlahan tumbuh menjadi cinta yang serius. Dua tahun sebelum pernikahan, sang calon suami memutuskan untuk masuk Islam.
"Dia sudah jadi mualaf dua tahun sebelum kami menikah. Tapi dari pihak keluargaku waktu itu belum langsung merestui," kisahnya.
Hubungan mereka sempat berjalan penuh tantangan, hingga akhirnya keluarga Ipeh luluh dan menerima pilihannya. Mereka menikah pada 2013 dan kini dikaruniai lima anak.
"Alhamdulillah, akhirnya semua menerima. Kami membangun hidup dari awal di sini," katanya pelan.
Kecintaan pada kuliner Minang menuntunnya membuka usaha kecil sejak 2018. Saat itu ia menjual produk halal dari rumah, membawa dagangan menggunakan mobil untuk dikirim ke teman-teman mahasiswa dan pekerja Indonesia-semacam jastip lokal.
"Awalnya cuma satu kamar dijadikan warung, tapi lama-lama jadi kebutuhan banyak orang," kenangnya.
(tor/rfs)