Hari Museum Nasional: Menakar Relevansi Museum untuk Generasi Kini dan Nanti

Hari Museum Nasional: Menakar Relevansi Museum untuk Generasi Kini dan Nanti

Adji G Rinepta - detikNews
Minggu, 12 Okt 2025 20:13 WIB
Marsha Widodo, Ignatia Nilu, serta Dr Gregorius Budi Subanar SJ mengunjungi Museum Diorama Arsip Jogja (DAJ), Sabtu (11/10) sore.
Marsha Widodo, Ignatia Nilu, serta Dr Gregorius Budi Subanar SJ mengunjungi Museum Diorama Arsip Jogja (DAJ), Sabtu (11/10) sore. (Foto: Adji G Rinepta)
Jogja -

Diperingati tanggal 12 Oktober setiap tahunnya, Hari Museum Nasional memantik diskusi soal relevansi museum bagi generasi kini dan nanti. Tiga pemerhati museum mewakili masing-masing generasi ini pun menjawab pertanyaan itu.

Ketiganya yakni siswi Jakarta Intercultural School (JIS) Marsha Widodo, kurator ArtJog Ignatia Nilu, serta Pengajar Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Jogja Dr Gregorius Budi Subanar SJ, memaparkan pandangan masing-masing tentang eksistensi Museum usai mengunjungi Museum Diorama Arsip Jogja (DAJ), Sabtu (11/10/2025) sore.

Sebagai generasi muda yang acap kali disebut Gen Z, Marsha pun menceritakan awal mula ketertarikannya akan dunia museum. Ia bilang, sejak kecil sudah dibawa orang tuanya menjelajahi museum di berbagai negara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal itu lama-kelamaan menumbuhkan kegemarannya akan dunia museum. Marsha mengaku dapat melihat bagaimana sejarah dan seni bisa terasa hidup di dalam museum.

"Dari situ saya belajar banyak hal yang tidak akan saya dapatkan di kelas, lewat rasa penasaran dan pengalaman langsung," jelas Marsha saat ditemui di DAJ, Sabtu (11/10).

ADVERTISEMENT

Menjelajahi banyak museum di berbagai negara membuatnya sadar jika budaya berkunjung ke museum di Indonesia dan di luar negeri sangat berbeda. Ia mencontohkan, di Eropa atau Amerika, anak-anak tumbuh dengan kebiasaan berkunjung ke museum.

Marsha Widodo, Ignatia Nilu, serta Dr Gregorius Budi Subanar SJ mengunjungi Museum Diorama Arsip Jogja (DAJ), Sabtu (11/10) sore.Marsha Widodo, Ignatia Nilu, serta Dr Gregorius Budi Subanar SJ mengunjungi Museum Diorama Arsip Jogja (DAJ), Sabtu (11/10) sore. Foto: Adji G Rinepta

Budaya yang dibangun sejak dini itu, menurutnya, menimbulkan rasa ingin tahu dan rasa menghargai akan budaya hingga sejarah yang muncul bahkan sejak masa anak-anak.

"Di Indonesia hal ini masih jarang, kebanyakan orang datang ke museum karena tugas sekolah, bukan karena dorongan pribadi. Padahal kalau kebiasaan itu tumbuh sejak kecil, cara kita melihat dunia dan memahami budaya sendiri akan jauh lebih mendalam," ujar Marsha.

Selain itu, kata Marsha, hal yang paling membuatnya tergerak ketika berkunjung ke Museum adalah saat ia melihat benda-benda dari Indonesia seperti naskah Jawa, tekstil atau patung yang dipamerkan di luar negeri.

"Pengalaman itu membuat saya ingin menjembatani jarak tersebut, membawa semangat rasa ingin tahu, dan budaya museum yang hidup ke sini," tutur Marsha.

"Bagi saya, museum bukan hanya tempat untuk melestarikan, tapi juga ruang untuk berpartisipasi dan menghubungkan orang kembali dengan cerita yang milik mereka sendiri," lanjutnya.

Sebagai informasi museum yang dikunjungi Marsha yakni Diorama Arsip Jogja (DAJ) merupakan sebuah pusat penyimpanan dokumentasi yang mengoleksi dan menyajikan berbagai arsip terkait sejarah, budaya, dan perkembangan seni di Yogyakarta.

Tempat ini berfungsi sebagai sumber referensi penting bagi peneliti, pelajar, dan masyarakat umum yang ingin menggali lebih dalam tentang warisan budaya dan perjalanan sejarah Jogja mulai dari jaman Panembahan Senopati tahun 1590-an sampai Jogja masa kini.

Adalah Dr Gregorius Budi Subanar SJ, salah satu sosok yang merancang museum arsip ini. Saat itu pengajar Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang akrab disapa Romo Banar itu, dipercaya memimpin tim pengarsipan hingga terlibat dalam perencanaan lini sejarah dan desain DAJ.

Marsha Widodo, Ignatia Nilu, serta Dr Gregorius Budi Subanar SJ mengunjungi Museum Diorama Arsip Jogja (DAJ), Sabtu (11/10) sore.Marsha Widodo, Ignatia Nilu, serta Dr Gregorius Budi Subanar SJ mengunjungi Museum Diorama Arsip Jogja (DAJ), Sabtu (11/10) sore. Foto: Adji G Rinepta

Romo Banar menilai museum perlu harus memperbaharui diri agar selalu relevan dengan barbagai kelompok usia. Bagaimana tidak, museum yang sarat akan ilmu bisa menjadi sarana anak-anak menyentuh pengalaman sejarah.

"Jangan lupa, yang bisa memanggungkan itu adalah seni, sehingga unsur museum itu butuh sentuhan seni," kata Romo Banar.

"Lalu kepada siapa dia berbicara? Kepada anak-anak? Kepada remaja? Nah setiap kelompok usia ini juga butuh bahasa atau simbol tertentu. Revitalisasi museum juga perlu memperhitungkan hal ini," sambungnya.

Sementara, Ignatia Nilu menambahkan tak hanya seni yang bisa dipakai untuk mengembangkan museum agar kian relevan dengan zaman, tapi juga teknologi. Belakangan banyak museum yang telah melakukannya.

Hal ini menurut Nilu menjadi penting agar museum selalu menarik bagi tiap generasi. Oleh karenanya, pemanfaatan dan eksplorasi teknologi tidak bisa berhenti untuk menopang eksistensi museum.

"Museum hari ini saya kira perlu merevitalisasi dirinya, meremajakan dirinya, supaya selalu seiring bersama zaman," ungkapnya

"Publik hari ini adalah publik untuk menjadi partisipatoris, masuk ke museum tidak hanya membaca dan melihat," lanjut Nilu.

Lewat perjalanan bersama Nilu dan Romo Banar menjelajah zaman di Museum DAJ, Marsha menemukan jika museum itu lebih dari sekadar gedung yang menyimpan benda-benda tua. Museum menjadi salah satu ruang langka di mana budaya, ingatan, dan identitas bisa bertemu dan terasa nyata bagi semua orang.

"Pada akhirnya, museum membuat budaya tetap hidup. Museum bukan hanya tempat menyimpan, tapi tempat berbagi: ruang dialog antara generasi, antara komunitas, dan antara masa lalu serta masa depan," pungkas Marsha.

(akd/akd)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads