Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung hadir langsung membuka acara Malam Puncak di Graha Bhakti Budaya, TIM, Jum'at malam, (28/9). Dalam sambutannya, ia menyampaikan apresiasi kepada panitia, dewan juri, peserta, serta seluruh pihak yang mendukung.
"Ajang ini bukan sekadar kompetisi, melainkan ruang berharga bagi generasi muda untuk mengasah potensi, memperluas wawasan, dan menumbuhkan rasa bangga terhadap identitas kotanya," ujar Pramono dalam keterangannya, Senin (29/9/2025).
Diketahui, Abang David Leon Bijlsma dari Jakarta Timur dan None Farel Larasati dari Jakarta Pusat resmi dinobatkan sebagai pemenang tahun ini. Mereka bukan hanya mengemban gelar, tapi juga tanggung jawab menjadi wajah ibu kota yang global sekaligus berbudaya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bermula dari Sarinah di tahun 1968 hingga TIM di tahun 2025, perjalanan Abang None adalah cermin perjalanan Jakarta itu sendiri dinamis, penuh warna, selalu muda, dan tak pernah kehilangan identitas.
Dari lantai dansa di Miraca Sky Club, Sarinah, kala itu 22 Juni 1968, lahirlah sebuah tradisi yang kini begitu melekat di hati warga Jakarta yakni Abang None. Saat itu, Jakarta baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-441.
Suatu ide sederhana muncul untuk mencari sosok yang bisa menjadi wajah kota Jakarta. Sang maestro film Indonesia, Usmar Ismail menggagas ajang ini, dengan dukungan penuh dari Gubernur Ali Sadikin kala itu.
Gelaran perdana itu menghadirkan 36 finalis None, tanpa pendamping Abang. Dari sana, nama Riziani Malik tercatat sebagai None Jakarta pertama, pulang dengan hadiah piala, tiket ke Paris, dan seperangkat peralatan minum teh. Hadiah yang mungkin terlihat sederhana hari ini, tapi begitu prestisius di zamannya.
Bahkan, beberapa peserta kemudian menjadi nama besar di dunia hiburan, seperti Connie Sutedja dan Dewi Motik. Dan, disetiap dekade alumni Abang None banyak menjadi publik figur dan tokoh penting yang terkenal karena kecerdasannya.
Visi besar Ali Sadikin kala itu tak mau berhenti di panggung pemilihan. Sang gubernur sadar, Jakarta yang sedang bertransformasi dari 'The Big Village' menjadi kota metropolitan, membutuhkan identitas budaya yang kuat.
Maka lahirlah Taman Ismail Marzuki, Dewan Kesenian Jakarta, hingga program-program yang membuka ruang bagi anak muda untuk tampil sebagai wajah kota pun makin jamak dan kompetitif.
Tahun berikutnya, 1969, jumlah peserta meroket. Dari 150 pendaftar, panitia memilih 30 finalis. Ajang ini semakin meriah karena tiket pertunjukannya dijual ke publik seharga Rp6.000. Di edisi itu, Masayu Nilawati Saleh dinobatkan sebagai None Jakarta, membawa pulang tiket ke Kuala Lumpur.
Namun, rasanya kurang lengkap bila hanya ada None. Dua tahun kemudian, 1971, lahirlah pasangan Abang None Jakarta. Hamid Alwi menjadi Abang pertama, mendampingi Tjike Soegiarto sebagai None.
Tahun itu pula, seorang Poppy Dharsono ikut serta, sebelum kemudian dikenal luas sebagai desainer mode kenamaan. Sejak itulah, Abang None menjadi pasangan simbolis yang tak terpisahkan.
Seiring berjalannya waktu, Abang None bukan lagi sekadar kontes kecantikan. Mereka tampil mendampingi gubernur, menyambut tamu negara, hingga mempromosikan pariwisata dan budaya Jakarta. Di balik senyum dan busana tradisional, ada peran diplomasi budaya yang sesungguhnya.
Lima dekade lebih, generasi demi generasi Abang None lahir dengan semangat berbeda. Ada yang kemudian menjadi artis, pengusaha, pejabat, hingga diplomat. Namun benang merahnya tetap sama, mereka adalah anak-anak muda yang membawa wajah Jakarta ke panggung dunia.
Kini, pada 2025, Pemilihan Abang None Jakarta memasuki tahun ke-53. Dengan tema 'Karya Nyata Untuk Jakarta', ajang ini menekankan pentingnya peran generasi muda bukan hanya sebagai simbol, tapi juga motor gagasan.
Tradisi ini juga mengingatkan kita bahwa sebuah kota bukan hanya dibangun dengan beton dan gedung tinggi, melainkan juga dengan jiwa generasi mudanya yang mencintai budaya.
Tonton juga video "Penampilan Perdana Finalis Abang None Jakarta 2025" di sini:
(anl/ega)