Iringan irama lembut musik keroncong mengalun indah di selasar pintu masuk lokasi Grand Final Abang None Jakarta ke-53. Irama musik dari grup Kerontjong Tugu itu memikat siapa pun yang melintas sebelum masuk ke Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki.
Pemilik Grup Musik Kerontjong Tugu, Lisa Michiels dan personil tampak tersenyum bahagia. Menurutnya, tampil kembali di panggung Malam Grand Final Abang None adalah kehormatan.
"Kami senang sekali karena ini tahun kedua diminta oleh Dinas Pariwisata untuk berpartisipasi," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (29/9/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak awal, Kerontjong Tugu tampil maksimal. Personil lengkap, busana khas Betawi, hingga aransemen musik yang matang disiapkan. Suasana hangat terasa ketika vokalis melantunkan tembang, diiringi gesekan biola, petikan gitar, dan dentingan cak-cuk khas kerontjong.
Semua berpadu, membuai telinga tamu undangan, termasuk Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Rano Karno yang turut hadir. Meski sudah tiga kali terlibat di event Abang None, Lisa mengaku malam kali ini berbeda.
"Spesial banget karena tampil di TIM, tempatnya gampang diakses, pengunjungnya pun beragam dari berbagai daerah. Jadi suasana lebih hidup dan intimate," jelasnya.
Selama acara, Kerontjong Tugu menyajikan 15 lagu klasik Betawi yang membalut malam dengan nuansa syahdu sekaligus elegan. Penampilan mereka bukan sekadar hiburan, tapi pengingat bahwa musik kerontjong adalah bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Betawi.
Lisa menjelaskan, sejarah panjang Kerontjong Tugu menjadi fondasi yang menguatkan mereka. Grup ini lahir sejak tahun 1661, lalu resmi dipatenkan pada 12 Juli 1988.
"Yang perlu diingat, Kerontjong Tugu ini adalah grup musik, bukan genre," tegas Lisa.
Pernyataan ini sekaligus meluruskan banyak anggapan keliru yang kerap ditemui. Nama Kerontjong Tugu sendiri telah melanglang buana. Mereka kerap diundang ke berbagai negara dalam rangka diplomasi budaya, bekerja sama dengan pemerintah pusat maupun Pemprov DKI Jakarta. Dari panggung lokal hingga internasional, identitas Betawi terus mereka bawa dengan bangga.
Namun Lisa sadar, tantangan di era modern tidak ringan. Bagi sebagian anak muda, kerontjong masih dianggap musik kelas dua. Karena itu, ia menitipkan harapan kepada para pemenang dan finalis Abang None tahun ini.
"Kami berharap mereka bisa lebih mencintai seni Betawi. Jangan biarkan kerontjong hanya jadi nostalgia orang tua," ujarnya.
Di balik denting nada yang terdengar lembut, sebenarnya tersimpan semangat perlawanan budaya. Kerontjong Tugu membuktikan, tradisi bisa terus hidup jika diberi ruang di tengah gemerlap modernitas.
Malam itu, di antara sorak-sorai Grand Final Abang None, keroncong kembali bicara. Ia tidak hanya menghibur, tapi juga menegaskan musik tradisi adalah napas identitas Jakarta. Satu langkah kecil menuju masa depan, di mana generasi muda semakin akrab dengan warisan leluhur mereka sendiri.
Tonton juga video "Mempertahankan Budaya Betawi di Tengah Modernisasi" di sini:
(anl/ega)