Penyandang Down Syndrome Minta Kesetaraan di DPR: Jangan Anggap Kami Beban

Penyandang Down Syndrome Minta Kesetaraan di DPR: Jangan Anggap Kami Beban

Anggi Muliawati - detikNews
Senin, 29 Sep 2025 12:22 WIB
Seorang penyandang down syndrome, Morgan, menyuarakan aspirasinya terkait revisi KUHAP di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (29/9/2025).
Penyandang down syndrome rapat di Komisi III DPR. (Anggi Muliawati/detikcom)
Jakarta -

Seorang penyandang down syndrome, Morgan, menyuarakan aspirasinya terkait revisi KUHAP (RKUHAP) di Komisi III DPR. Morgan meminta tak adanya diskriminasi terhadap penyandang disabilitas.

Hal itu disampaikan perwakilan Morgan dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR membahas revisi KUHAP di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (29/9/2025). Morgan mengaku kerap mendapat perlakuan berbeda dari berbagai pihak.

"Saya ingin sampaikan kepada ibu-bapak sekalian sekaligus, mohon agar kami tidak didiskriminasi," ungkapnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sampai saat ini, kami anak disabilitas intelektual dan sindroma down khususnya, didiskriminasi di semua bidang mulai dari kesehatan, pendidikan, apalagi untuk mendapatkan pekerjaan," sambung dia.

ADVERTISEMENT

Morgan mengatakan saat ini masih banyak yang menilai jika penyandang disabilitas hanyalah beban. Padahal, kata dia, penyandang disabilitas juga bisa membuat sesuatu yang positif.

"Masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa kami ini tidak bisa apa-apa, bodoh, dan hanya menjadi beban keluarga dan negara. Sehingga dianggap tidak perlu mendapatkan pendidikan apalagi mendapatkan pekerjaan, kami ditolak masuk sekolah umum," ujarnya.

Morgan mengaku pandai berbicara dengan tiga bahasa, yakni Indonesia, Prancis, dan Inggris. Namun, menurutnya, kelebihan itu masih dipandang sebelah mata di Indonesia.

"Di Indonesia, hak saya tidak diakui, antara lain, saya dianggap tidak punya kapasitas hukum. Yang paling menyedihkan yang saya alami adalah saya tidak bisa punya rekening bank atas nama saya sendiri, padahal saya sudah bekerja lebih dari empat tahun menerima gaji setiap bulan dari organisasi," paparnya.

"Saya juga mendapatkan honor ketika saya diundang berbicara atau dikontrak kerja oleh organisasi lain, dan saya juga baru membuka cafe saya sendiri Morgan's Kitchen bulan Februari lalu. Tapi sekali lagi, saya tidak bisa memiliki usaha atas nama saya sendiri," sambungnya.

Morgan lantas berharap tak ada lagi diskriminasi kepada penyandang disabilitas. Morgan meminta Komisi III DPR untuk menghapus pasal-pasal dalam revisi KUHAP yang dinilai mendiksriminasi.

"Saya telah membuktikan bahwa kami juga bisa dididik, bisa maju seperti yang lain, bisa punya prestasi, punya motivasi untuk maju, dan kami juga bisa bekerja seperti yang lain bila diberikan kesempatan," jelasnya.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, perwakilan Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas, Yeni, menyoroti bahayanya kesaksian penyandang disabilitas mental tak di bawah sumpah. Yeni menilai seharusnya status penyandang disabilitas sebagai saksi harus setara.

"Saya ingin menggarisbawahi betapa berbahayanya apabila kesaksian itu dari penyandang disabilitas mental itu tidak di bawah sumpah," kata Yeni.

"Bayangkan aja ya, kalau misalnya dia, kita tahu bahwa sumpah itu, keterangan di luar sumpah itu hampir nggak ada harganya ya, karena dianggap sekadar keterangan. Bobotnya lebih rendah dan hanya sebagai informasi tambahan," sambungnya.

Padahal, kata dia, penyandang disabilitas mental, khususnya perempuan rawan terhadap tindak kekerasan seksual. Dia menilai jika kesaksian tak di bawah sumpah, maka tidak memiliki kekuatan.

"Kalau kesaksiannya tidak di bawah sumpah, pada saat kejadiannya hanya korban dan pelaku, gimana coba? Rawan sekali," ujarnya.

Menurutnya, pasal 208 revisi KUHAP masih dalam posisi rawan untuk penyandang disabilitas mental. Dia lantas mengusulkan hanya ahli atau psikiater yang dapat menentukan kondisi penyandang disabilitas, bukan penyidik.

"Sebagian besar anggota organisasi saya itu ada yang dosen ada yang entrepreneur, macem-macem lah. Tidak berarti semua orang yang punya masalah kejiwaan, bipolar, skizofrenia, itu tidak bisa apa-apa. Itu zaman dulu tuh, zaman belum ada pengobatan," tururnya.

Lokataru Usul RKUHAP Atur Hakim Komisaris

Lokataru Foundation yang juga hadir dalam RDPU di Komisi II DPR mengusulkan adanya penguatan peran hakim komisaris untuk meminimalisir korban salah tangkap. Mulanya, Staf Lokataru Foundation, Fauzan Alaydrus mengatakan ada tiga poin penting yang akan disampaikan, khususnya terkait penangkapan Delpedro dan Muzaffar.

"Kami mau angkat tiga poin penting, karena ini berkaitan langsung dengan bukti faktual yang kami alami, yaitu pada penangkapan Delpedro Marhaen selaku Direktur Eksekutif Lokataru Foundation dan juga Muzafar Salim," katanya.

Dia pun mengusulkan salah satunya ialah penguatan peran hakim komisaris. Menurutnya, tak adanya hakim komisaris mengakibatkan banyaknya korban salah tangkap.

"Kami coba memberikan tiga identifikasi masalah apabila kita gak punya nih hakim komisaris. Yang pertama adalah banyak korban salah tangkap," ujarnya.

Menurutnya, berdasarkan catatan KontraS, setiap tahun terdapat puluhan korban salah tangkap. Meskipun, kata dia, ada sistem praperadilan yang menjadi salah satu harapan masyarakat. Namun, peran hakim komisaris masih tetap diperlukan.

"Karena apabila kita bicara hakim komisaris, mungkin kita punya argumen bahwa kan ada praperadilan, itu sebagai salah satu harapan alternatif dari warga," ujarnya.

"Pada akhirnya, penguatan hakim komisaris ini jadi relevan, karena apa? Pada saat APH akan melakukan upaya paksa, ia harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari hakim komisaris," sambungnya.

Dia menilai hakim komisaris memiliki pengaruh untuk mengurangi korban salah tangkap. Terlebih, riset menunjukkan anak muda memiliki dampak besar terhadap RUU KUHAP.

"Karena dalam unjuk rasa pun bisa ditangkap sewenang-wenang, dalam melakukan suatu protes pun bisa ditangkap sewenang-wenang. Jadi penguatan hakim komisaris ini betul-betul harus dipertimbangkan," paparnya.

Lebih lanjut, Lokataru Foundatuon juga menyoroti standarisasi penahanan. Menurutnya, terlalu banyak batasan dalam menjenguk seseorang saat di dalam tahanan.

"Akses keluarga dan bantuan hukum yang dibatasi. Ini juga bukti faktual yang kita alami, karena keluarga Delpedro Marhaen dan Muzaffar Salim pada saat mau menjenguk dan membesuk anaknya tidak bisa, bahkan dibatasi," ungkapnya.

"Ini bagaimana? Apakah RKUHAP tidak mengatur itu? Atau memang bukan RKUHAP yang mengatur?" lanjut Fauzan.

Padahal, menurut dia, RUU KUHAP dapat mengatur hak-hak dari tersangka. Sebab itu, perlu untuk diatur jika setiap keluarga memiliki hak menjenguk.

"Jadi sebetulnya, penahanan di ruang sel ini kita harus lihat apakah betul-betul sesuai dengan spesifikasinya. Bahkan Delpedro itu ditahan pada sel yang terpisah," tuturnya.

Tonton juga video "Anak Down Syndrome dan Kolong Jembatan Binaan berbuatbaik.id Jadi Player Escort Timnas" di sini:

Halaman 2 dari 4
(amw/rfs)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.

Hide Ads