Sudah lebih dari empat dekade berlalu sejak Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disahkan pada tahun 1981. Sebuah masa yang panjang, bahkan melampaui usia banyak generasi muda Indonesia hari ini.
Namun, sistem hukum acara pidana kita masih berdiri di atas fondasi lama itu, yang disusun dalam semangat dan konteks hukum Orde Baru, ketika hak asasi manusia belum menjadi arus utama dalam sistem hukum nasional.
Akibatnya, KUHAP saat ini bukan hanya kadaluwarsa secara substansi, tetapi juga kerap menjadi akar dari berbagai pelanggaran hukum yang terjadi dalam praktik penegakan keadilan di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbagai studi, laporan lembaga swadaya masyarakat, hingga data lembaga peradilan sendiri menunjukkan satu pola berulang, yakni masih minimnya perlindungan hak asasi bagi tersangka dan terdakwa, lemahnya mekanisme pengawasan terhadap aparat penegak hukum, serta dominasi pendekatan pemidanaan yang menghukum, bukan memulihkan.
Jika KUHAP tidak segera direvisi secara menyeluruh, sistem peradilan pidana Indonesia berisiko menjadi mesin penghukum yang tidak sensitif terhadap keadilan substantif.
Sistem yang Menyisakan Luka
Laporan World Justice Project tahun 2023 menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-68 dari 140 negara dalam hal akses terhadap keadilan, terutama pada sektor pidana.
Di mana satu dari setiap dua terdakwa di Indonesia tidak mendapatkan pendampingan hukum yang layak saat proses penyidikan. (World Justice Project (WJP), Rule of Law Index: 2023). Ini bukan sekadar angka. Ini adalah cerita tentang para pencari keadilan yang tak tahu harus mengadu ke mana, para korban salah tangkap yang tak sempat membela diri, dan keluarga mereka yang dirundung stigma tanpa pembelaan.
Pasal 56 KUHAP sejatinya telah memberikan jaminan bahwa setiap terdakwa yang tidak mampu wajib didampingi penasihat hukum. Namun, realitas berkata lain.
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mencatat bahwa pada tahun 2022, lebih dari 40% kasus pidana yang mereka tangani di tahap penyidikan berlangsung tanpa penasihat hukum. Pelanggaran terhadap prinsip due process of law ini membuka celah luas bagi praktik intimidasi, penyiksaan, bahkan rekayasa kasus.
Dalam ranah teori hukum, situasi ini menunjukkan gagalnya KUHAP menjamin procedural justice, konsep yang dikembangkan oleh John Rawls dan Herbert Packer, di mana prosedur hukum seharusnya menjadi pelindung hak, bukan sekadar formalitas.
KUHAP versi 1981 lebih condong pada crime control model, yang mengutamakan efisiensi dan penangkapan pelaku kejahatan, dibandingkan due process model, yang menekankan hak-hak individu. Kini saatnya mengubah keseimbangan itu.
Restoratif Bukan Sekadar Wacana
Oleh karena itu, revisi KUHAP yang sedang dibahas di DPR RI, khususnya oleh Komisi III, membawa satu harapan besar agar adanya pergeseran paradigma dari penghukuman ke pemulihan.
Salah satu poin penting dalam draf RUU KUHAP adalah penguatan mekanisme keadilan restoratif (restorative justice). Konsep ini mengedepankan penyelesaian perkara melalui dialog antara korban, pelaku, dan masyarakat, dengan tujuan memulihkan kerugian dan merehabilitasi pelaku.
Pendekatan ini bukanlah teori kosong. Negara-negara seperti Selandia Baru dan Kanada telah lama menerapkan keadilan restoratif dalam sistem pidana mereka, dengan hasil signifikan, mulai dari penurunan angka residivisme, penghematan anggaran pemasyarakatan, dan pemulihan hubungan sosial.
Di Indonesia sendiri, menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan per Maret 2024 telah mencapai 273 ribu orang, melebihi kapasitas ideal sebesar 132%. Ini bukti bahwa sistem yang hanya fokus pada penjara telah gagal secara struktural.
Namun, sebagaimana diingatkan banyak ahli, termasuk Prof. Mardjono Reksodiputro, keberhasilan restorative justice sangat bergantung pada komitmen institusi penegak hukum. Konsep ini bisa saja berakhir hanya sebagai pasal hiasan dalam undang-undang jika aparat (dari kepolisian hingga kejaksaan) tidak diberi pelatihan memadai dan mekanisme pengawasan yang kuat.
Praperadilan yang Tumpul
Lebih jauh, mekanisme praperadilan sejatinya dirancang sebagai benteng perlindungan terakhir bagi warga negara terhadap penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum. Di dalamnya, rakyat dapat menguji sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, atau penghentian penyidikan yang dilakukan secara sewenang-wenang.
Namun, ironi terjadi ketika senjata hukum ini justru tumpul dalam praktik. Banyak pengajuan praperadilan ditolak oleh hakim hanya karena alasan formalitas, seperti kesalahan administratif atau kekeliruan prosedural, tanpa pernah menyentuh substansi pelanggaran hak yang diajukan pemohon. Hal ini menunjukkan bahwa praperadilan belum benar-benar menjadi alat koreksi yang efektif terhadap tindakan represif aparat negara.
Dalam kerangka itu, revisi KUHAP harus diarahkan untuk memperluas cakupan praperadilan secara signifikan. Tak cukup hanya menyentuh aspek penahanan atau penangkapan, kewenangan hakim praperadilan juga perlu meliputi pengujian terhadap sah atau tidaknya penetapan tersangka, penyitaan, penggeledahan, hingga penghentian penyidikan yang janggal.
Bahkan, di tengah perkembangan teknologi informasi, ruang lingkup praperadilan seharusnya juga mencakup penggunaan alat digital dalam proses penyidikan, mulai dari penyadapan elektronik, pelacakan digital, hingga pemanfaatan AI dalam analisis forensik.
Sebab saat ini, pelanggaran hak asasi tidak lagi hanya hadir dalam bentuk kekerasan fisik, tetapi juga dalam bentuk pelanggaran privasi, manipulasi data, dan perampasan hak digital warga negara.
Langkah perluasan ini juga sejalan dengan prinsip due process of law yang menjadi pilar utama negara hukum demokratis. Dalam perspektif teori hukum, fungsi kontrol terhadap aparat penegak hukum adalah elemen penting untuk mencegah abuse of power.
Negara-negara yang telah lebih maju dalam penegakan hukum, seperti Jerman dan Belanda, telah mengadopsi model praperadilan yang memberi ruang lebih luas kepada hakim untuk mengevaluasi prosedur penyidikan secara menyeluruh. Indonesia harus menuju ke arah yang sama.
Dengan memberikan cakupan dan kewenangan yang lebih kuat kepada praperadilan, negara tak hanya memperkuat hak konstitusional warga, tetapi juga meningkatkan akuntabilitas institusi penegak hukum dalam menjalankan tugasnya.
Komitmen Politik
Komisi III DPR RI telah menunjukkan inisiatif dengan merampungkan draf RUU KUHAP. Proses legislasi ini telah melibatkan partisipasi publik yang cukup masif, namun harus tetap dikawal agar menghasilkan produk hukum yang benar-benar menjawab persoalan di lapangan.
Dalam banyak kasus, undang-undang yang sudah progresif pun bisa kehilangan daya jika tidak dibarengi kemauan politik dari pemerintah dan penegak hukum.
Seperti kata Jeremy Bentham, "Law is not law unless it is enforced." Hukum yang tak ditegakkan secara adil hanya akan menjadi alat legitimasi bagi ketimpangan dan kekuasaan. Dengan kata lain, tanpa penegakan yang konsisten, adil, dan merata, hukum kehilangan makna substansialnya dan hanya menjadi simbol kosong yang bisa dimanipulasi oleh kekuasaan. (Jeremy Bentham, Of Laws in General (1782, published posthumously 1970). Edited by H.L.A. Hart. London: The Athlone Press.)
Dalam konteks Indonesia, di mana banyak ketentuan hukum progresif kerap gagal diterapkan dalam praktik, kutipan ini menjadi pengingat keras. Bahwa hukum bukan sekadar teks, melainkan instrumen etis dan praktis untuk menegakkan keadilan sosial.
Bila hukum hanya ditegakkan terhadap kelompok rentan, sementara kelompok berkuasa kebal dari proses hukum, maka sistem hukum kita berubah menjadi alat legitimasi bagi ketimpangan struktural dan penyalahgunaan kekuasaan.
Saatnya Membongkar dan Membangun Ulang
Pada akhirnya, revisi KUHAP bukan sekadar revisi teknis pasal-pasal hukum acara. Ia adalah peluang besar untuk membongkar sistem hukum pidana yang usang dan membangun ulang dari fondasi yang lebih adil, manusiawi, dan beradab. Indonesia sedang bergerak menuju masyarakat yang lebih terbuka dan demokratis. Sistem peradilannya harus mengikuti arah itu, bukan menjadi penghambatnya.
Tentu, perubahan tidak akan terjadi dalam semalam. Namun, dengan dorongan masyarakat sipil, tekanan akademisi, dan komitmen politik yang teguh, revisi KUHAP bisa menjadi tonggak sejarah baru dalam perjalanan hukum Indonesia.
Jika negara memang ingin menjadikan hukum sebagai panglima, maka saat inilah momentum terbaik untuk membuktikannya. Semoga.
Afdhal Mahatta. Tenaga Ahli Komisi III DPR RI.
(rdp/imk)