Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) kecewa dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan UU Nomor 34/2024 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). YLBHI menilai hakim MK gagal melihat permasalahan dengan jelas dan jernih.
"Kita melihat MK gagal menjadi majelis yang dengan jelas dan jernih melihat permasalahan, bahwa sangat banyak fakta-fakta tentang tindakan DPR yang tidak partisipatif dan pemerintah dalam penyusunan UU TNI itu diabaikan oleh MK," kata Ketua YLBHI Muhammad Isnur kepada wartawan, Kamis (18/9/2025).
Isnur menyinggung soal empat hakim MK yang menyampaikan perbedaan pendapat atau dissenting opinion. Menurutnya, hal itu pertanda bahwa terjadi diskusi alot antara hakim-hakim MK yang menilai gugatan tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: MK Tolak Gugatan YLBHI-KontraS soal UU TNI |
Dia menyinggung soal YLBHI yang diundang dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkait revisi UU TNI. Menurutnya, YLBHI tak memenuhi undangan karena hanya selisih sehari dengan pengesahan revisi UU TNI.
"Kami memandang justru 4 hakim MK lah yang benar. Kami juga kecewa sekali misalnya dalam putusan disebut bahwa YLBHI diundang di RDPU, dan itu kami jelas menyatakan kami tidak pernah diundang," ucap Isnur.
"Diundang pun secara informal bersama koalisi dan kami menyatakan tidak bersedia hadir karena diundangnya sehari sebelum pengesahan. Jadi jelas ini merupakan manipulasi penyusunan undang-undang," tambahnya.
Isnur juga menilai MK gagal menerapkan kembali prinsip dasar yang ditetapkan MK, yakni meaningful participation atau partisipasi yang bermakna. Menurutnya, MK tidak menjelaskan bahwa dalam putusan UU ini terjadi meaningful participation.
"Kita bisa melihat bagaimana dampak dari UU TNI sekarang, TNI merasa punya legitimasi dalam banyak hal melakukan tindakan-tindakan aksi di lapangan, menjaga Kejaksaan, menjaga DPR, bahkan mengancam pidana Ferry Irwandi. Jelas sekali UU ini tidak sesuai dengan semangat konstitusi, tidak sesuai dengan semangat reformasi, bertentangan dengan reformasi TNI dan juga berdampak serius kepada demokrasi ke depan," imbuhnya.
MK Tolak Gugatan YLBHI-KontraS soal UU TNI
Mahkamah Konstitusi menolak gugatan yang diajukan YLBHI hingga KontraS terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan UU Nomor 34/2024 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). MK mengatakan dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum.
"Mengadili dalam pokok permohonan: menyatakan permohonan Pemohon V dan VI tidak dapat diterima, menolak permohonan Pemohon I sampai dengan Pemohon IV untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan di sidang, Rabu (17/9/2025).
MK membeberkan satu per satu dalil para pemohon. Pertama, MK mengatakan RUU TNI di Prolegnas tidak melanggar hukum.
"Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil para pemohon berkenaan perencanaan revisi UU TNI dalam Prolegnas dilakukan secara melanggar hukum dan seterusnya adalah tidak beralasan menurut hukum," kata hakim Daniel Yusmic.
MK juga mengatakan selama ini proses pembahasan RUU TNI juga sudah terbuka. MK mengatakan seluruh informasi mengenai RUU TNI bisa diakses di laman resmi DPR dan YouTube DPR RI.
"Berdasarkan fakta hukum tersebut, berkenaan dengan permasalahan dokumen yang tidak dapat diakses adalah tidak tepat jika dikaitkan dengan pelanggaran asas keterbukaan sebagaimana didalilkan oleh para pemohon. Sebab, apabila para pemohon hendak memperoleh akses terhadap dokumen terkait RUU a quo, ternyata selain telah disampaikan kepada masyarakat baik melalui laman resmi dan kanal YouTube DPR, akses informasi juga dapat diketahui melalui hasil wawancara dengan awak media setelah rapat pembahasan maupun hasil wawancara terkait dengan perkembangan pembentukan RUU perubahan atas UU 34/2024," kata hakim M Guntur Hamzah.
Hakim Guntur menyatakan informasi yang disampaikan DPR sudah terbuka. Masyarakat, katanya, bisa mengakses mudah mengenai RUU.
"Dengan demikian, berdasarkan fakta hukum tersebut, pembentuk UU telah menyediakan akses melalui laman resmi dan kanal YouTube serta adanya hasil wawancara yang dilakukan oleh media massa dalam setiap tahap pembahasan RUU telah membuktikan upaya pembentuk UU dalam membuka informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat," imbuhnya.
Oleh karena itu, MK menilai dalil para pemohon tidak beralasan, Sehingga MK menolak permohonan mereka.
"Dengan demikian berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut dalil para pemohon berkenaan proses pembahasan revisi UU TNI dengan sengaja tidak transparan, tidak akuntabel, adalah tidak beralasan menurut hukum," katanya.
Dissenting Opinion
Putusan ini diwarnai dissenting opinion atau perbedaan pendapat. Perbedaan ini disampaikan oleh empat hakim yaitu hakim konstitusi Suhartoyo, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arsul Sani. Empat hakim tersebut berpendapat bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum, seharusnya Mahkamah mengabulkan para pemohon untuk sebagian.
Dalam perkara nomor 81/PUU-XXIII/2025 pemohonnya adalah: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), KontraS, Inayah WD Rahman, Eva Nurcahyani, dan Fatiah Maulidiyanty. Pemohon pada intinya meminta UU 3/2025 tidak mempunyai ketentuan hukum mengikat.
MK juga menolak permohonan pemohon tentang adanya penggunaan kekuatan secara berlebihan. Hal ini sebagaimana peristiwa aksi yang dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil di Hotel Fairmont ketika Panja DPR membahas RUU TNI di sana.
"Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para pemohon yang menyatakan adanya penggunaan kekuatan secara berlebihan (Excessive use of force) untuk menutup ruang partisipasi publik, menurut mahkamah jika dimaksud oleh para pemohon dalil tersebut, dikaitkan dengan adanya peristiwa protes oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk sektor keamanan pada rapat panitia kerja yang dilakukan secara tertutup di Hotel Fairmont pada 14 Maret dan 15 Maret 2025, meskipun tidak dapat dipungkiri adanya peristiwa protes, namun sesungguhnya rapat tersebut dilaksanakan secara terbuka," kata hakim Guntur.
"Sehingga dalil para pemohon mengenai adanya penggunaan kekuatan secara berlebihan tidak benar adanya, sehingga tidak dapat diartikan menghalangi penyampaian aspirasi masyarakat sepanjang dilakukan dengan menyampaikan menurut metode-metode dan cara-cara sebagaimana yang dimaksud mahkamah," ucapnya.
Oleh karena itu, MK menilai dalil para pemohon tidak beralasan, Sehingga MK menolak permohonan mereka.
"Dengan demikian berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut dalil para pemohon berkenaan proses pembahasan revisi UU TNI dengan sengaja tidak transparan, tidak akuntabel, adalah tidak beralasan menurut hukum," katanya.
Simak juga Video 'Prabowo Tegaskan Tak Ada Niat Bangkitkan Dwifungsi Lewat UU TNI: Come On!':