Hukum kerap dipersepsikan keras dan menakutkan. Stigma 'hukum tajam ke bawah' masih melekat kuat di masyarakat. Akan tetapi, Jaksa Esterina Nuswarjanti, menganggap alih-alih keras terhadap masyarakat kecil, hukum seharusnya bisa menjadi jalan keluar.
Dua dekade lebih Esterina menjadi jaksa, dia menolak anggapan bahwa hukum selalu kejam bagi masyarakat kecil. Esterina berpegang teguh bahwa di balik setiap kasus selalu ada sisi kemanusiaan yang layak diperhitungkan.
"Kita lebih humanis lah ke masyarakat bahwa tidak selamanya itu hukum selalu tajam ke bawah. Kalau saya kepuasannya, ya itu tadi bisa mengembalikan korban kembali ke keadaan semula. Masyarakat juga sudah bisa menilai bahwa Kejaksaan itu tidak seperti seseram yang dibayangkan," ujar Esterina kepada detikcom.
Bagi Esterina, tidak semua harus diproses dengan hukuman penjara. Menurutnya, sepanjang kejahatan bukan merupakan tindakan asusila dan penghilangan nyawa, hukum bisa hadir sebagai jalan tengah.
"Bagi saya pribadi ya, kalau selagi itu pasalnya atau kejahatannya memang masih bisa kita pertimbangkan, masih bukan asusila, bukan menghilangkan nyawa orang. Contohnya, mencuri yang sebenarnya kepepet sekali," sambungnya.
Implementasi Perangkat Hukum dalam Kasus Nyata
Salah satu upaya yang terus digaungkan oleh Esterina adalah dengan mengimplementasikan restorative justice dalam beberapa kasus yang dia tangani. Restorative justice tidak menitikberatkan hukum pada vonis penjara, akan tetapi lebih berfokus pada pemulihan keadaan seperti semula.
"Yang penting korbannya sudah ikhlas memaafkan, mau menerima dari kesalahan si pelaku tersebut, si terdakwa tersebut, ya itu yang diramalkan RJ seperti itu. Karena kalau tidak ada maaf dari korban, kita ngga bisa melakukan RJ," ungkapnya.
Dalam implementasi restorative justice, salah satu yang paling berkesan bagi Esterina adalah ketika sebuah kasus pencurian motor keluaran 1993 dilimpahkan kepadanya.
Pelaku yang berprofesi sebagai penggali kubur mengaku nekat mencuri karena terdesak kebutuhan anaknya yang masih SMP untuk membeli perlengkapan sekolah. Namun, sebab kondisi motor masih utuh dan dikembalikan kepada pemilik, menjadi salah satu pertimbangan korban untuk menerima penyelesaian damai dan memaafkan pelaku.
"Jadi dari situlah, si korbannya berbesar hati memaafkan. Karena motor sudah kembali seperti semula. Belum diapa-apain dan masih ada, semua masih ada. Dalam bentuk utuh. Itulah sebenarnya tidak semua-semuanya harus diselesaikan kan di ranah hukum kan. Nggak seperti itu sebenarnya," tuturnya.
Esterina memaparkan, proses sidang sangat bisa dilakukan dengan mudah melalui tuntutan dan vonis. Namun, menurutnya, penting untuk memahami kondisi korban terlebih dahulu.
"Kalau sidang itu gampang saya bilang. Sidang, tuntut, beres. Tapi kan di sini lah kita saatnya untuk hati nurani kita dipertanyakan dengan diri kita masing-masing maksudnya. Jadi kamu harus benar-benar mengenal dulu korbannya gimana, nanti kita baru akan tahu memang rasanya korban itu ada alasan-alasan dia mau memaafkan, dia memang sebenarnya orang baik itu ada sebenarnya," pungkas Esterina.
detikcom bersama Kejaksaan Agung menghadirkan program khusus yang mengungkap realita penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Program ini tidak hanya menyorot upaya insan kejaksaan dalam menuntaskan kasus, namun juga mengungkap kisah dari dedikasi dan peran sosial para jaksa inspiratif.
Program ini diharapkan membuka cakrawala publik akan arti pentingnya institusi kejaksaan dalam kerangka pembangunan dan penegakan supremasi hukum di masyarakat. Saksikan selengkapnya di sini.
(akn/ega)