Gerakan boikot produk terafiliasi Israel masih menjadi sorotan publik. Sejak agresi Israel ke Gaza, banyak kalangan menyerukan aksi boikot sebagai bentuk solidaritas.
Meski begitu, gaungnya kini berhadapan dengan sejumlah tantangan. Mulai dari hoaks daftar produk, perusahaan yang menunggangi isu kemanusiaan lewat palestine washing, hingga kebingungan publik soal siapa yang seharusnya disasar.
Di media sosial, beredar daftar produk boikot yang tidak jelas sumbernya. Bahkan, produk lokal maupun perusahaan publik Indonesia ikut tercatut. Kondisi ini menimbulkan kebingungan, bahkan bisa merugikan industri dalam negeri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bidang pemberdayaan perekonomian Eman Suryaman mengingatkan umat muslim Indonesia agar menjalankan gerakan boikot yang tepat sasaran. Ia mengimbau agar jangan sampai gerakan boikot justru menyasar perusahaan publik lokal, yang mayoritas sahamnya dimiliki individu atau perusahaan Indonesia.
"Di media sosial belakangan ini, sejumlah pihak aktif mengkampanyekan boikot produk keluaran perusahaan go public hanya lantaran sebagian kecil sahamnya dimiliki oleh investor asing tertentu. Yang seperti ini tidak tepat," kata Eman dalam sebuah diskusi publik bertema 'Bulan Palestina & Sosialisasi Fatwa MUI' di Cirebon, beberapa waktu lalu.
Selain hoaks, tantangan lain datang dari strategi perusahaan global yang mencoba mengambil simpati lewat palestine washing. Beberapa perusahaan diketahui menggelar acara sosial, bahkan sampai mengadakan kegiatan Ramadan di masjid, untuk membangun citra peduli Palestina.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, Prof. Sudarnoto Abdul Hakim, menilai bantuan kemanusiaan dari perusahaan yang terafiliasi dengan Israel untuk Palestina tidak mencerminkan dukungan yang tulus. Ia menyebut hal itu sebagai bentuk kamuflase jika perusahaan tersebut tetap menjalin hubungan bisnis dengan Israel.
"Itu jadinya hanya kamuflase. Kalau sekali mendukung Palestina, harus genuine tidak melakukan bisnis dengan Israel dalam bentuk apa pun," ujar Prof. Sudarnoto
Fenomena palestine washing menegaskan pentingnya literasi konsumen. Solidaritas tidak cukup diukur dari kampanye atau donasi sesaat, melainkan dari konsistensi perusahaan dalam bersikap terhadap isu kemanusiaan. Masyarakat diminta lebih kritis dalam memilah informasi dan menilai komitmen perusahaan.
Gerakan boikot Israel jelas tidak mudah. Tetapi dengan literasi yang kuat, sikap kritis, dan konsistensi umat, aksi ini bisa tetap menjadi senjata damai melawan kezaliman dan solidaritas nyata bagi Palestina.
Tonton juga Video: Massa Pro Palestina Serukan Boikot Gal Gadot di Acara Walk of Fame