Jaksa mengungkap total suap vonis lepas kasus dugaan korupsi izin ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan minyak goreng (migor) berjumlah Rp 40 miliar. Jaksa mengatakan terdakwa sudah menawarkan Rp 20 miliar kepada hakim sebelum sidang dimulai.
Hal itu diungkap jaksa saat membacakan surat dakwaan eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Muhammad Arif Nuryanto, di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (20/8/2025). Perkara migor itu melibatkan tiga korporasi sebagai terdakwa, yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Jaksa mengatakan pengacara para terdakwa korporasi, Ariyanto, menghubungi Wahyu Gunawan, yang merupakan panitera pengadilan, pada Januari 2024 dan menanyakan susunan majelis hakim perkara tersebut. Wahyu kemudian menyampaikan kepada Ariyanto bahwa majelis hakim yang akan mengadili perkara tersebut di PN Jakpus salah satunya ialah hakim Djuyamto.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lalu satu minggu kemudian, Ariyanto kembali mendatangi Wahyu Gunawan dan bertanya mengenai siapa yang akan ditunjuk sebagai hakim yang menyidangkan perkara korupsi korporasi minyak goreng dan Wahyu Gunawan menjawab bahwa berdasarkan informasi dari Terdakwa Muhammad Arif Nuryanto, yang akan menyidangkan perkara korupsi korporasi minyak goreng adalah hakim Djuyamto," kata jaksa.
Jaksa mengatakan Ariyanto meminta Wahyu menghubungi Djuyamto agar mengabulkan permohonan eksepsi perkara migor tersebut. Wahyu lalu menemui Djuyamto di salah satu mal di Kemang, Jakarta Selatan, pada Februari 2024.
Pada pertemuan tersebut, Wahyu menyampaikan kepada Djuyamto akan ada berkas perkara korupsi korporasi minyak goreng yang akan dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Wahyu menyampaikan dirinya mendapat informasi dari Arif, yang saat itu Wakil Ketua PN Jakpus, bahwa hakim yang ditunjuk menangani perkara tersebut ialah Djuyamto.
Wahyu kemudian menyampaikan tawaran Ariyanto kepada Djuyamto agar mengabulkan permohonan eksepsi terdakwa korporasi migor. Wahyu mengatakan Ariyanto memberikan tawaran Rp 20 miliar kepada Djuyamto untuk mengabulkan eksepsi tersebut.
"Saat itu Wahyu Gunawan menyampaikan permintaan Ariyanto, yang menawarkan uang sebesar Rp 20.000.000.000 kepada Djuyamto untuk mengabulkan eksepsi dari pihak Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group dalam perkara korupsi korporasi minyak goreng," ujar jaksa.
Jaksa mengatakan Djuyamto belum memberikan jawaban saat itu. Jaksa mengatakan Djuyamto ingin membaca lebih dulu permohonan eksepsi terdakwa korporasi migor tersebut.
"Dijawab Djuyamto belum dapat berkomentar karena harus membaca berkas permohonan eksepsinya terlebih dahulu, kemudian hal tersebut disampaikan Wahyu Gunawan kepada Ariyanto dan keesokan harinya Ariyanto menyerahkan dokumen konsep eksepsi kepada Wahyu Gunawan untuk diteruskan kepada Djuyamto," ujar jaksa.
Pada Februari 2024, Wahyu kembali menemui Djuyamto di salah satu warung soto di Jalan Bangka Raya, Jakarta Selatan. Wahyu menyerahkan dokumen konsep eksepsi dari Ariyanto kepada Djuyamto.
Jaksa mengatakan Djuyamto menyampaikan akan mempelajari dokumen tersebut. Setelah mempelajarinya, kata jaksa, Djuyamto mengatakan kepada Wahyu bahwa permohonan eksepsi itu tidak dapat dikabulkan.
"Sekitar satu minggu kemudian, Wahyu Gunawan kembali menemui Djuyamto di depan lobi Apartemen Pakubuwono View. Dalam pertemuan tersebut, Djuyamto mengatakan kepada Wahyu Gunawan bahwa permohonan eksepsi dari pihak Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group dalam perkara korupsi korporasi minyak goreng tidak dapat dikabulkan," ujar jaksa.
Jaksa mengatakan Djuyamto saat itu meminta Wahyu berkoordinasi dengan Arif, yang menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat. Dia mengatakan semua arahan terkait perkara migor dilakukan melalui Arif.
"Djuyamto juga menyampaikan agar Wahyu Gunawan berkoordinasi dengan Terdakwa Muhammad Arif Nuryanto selaku Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena Terdakwa Muhammad Arif Nuryanto-lah yang menunjuk majelis hakim perkara korupsi korporasi minyak goreng sehingga semua arahan melalui Terdakwa Muhammad Arif Nuryanto," ujar jaksa.
Dalam kasus ini, jaksa mendakwa Arif dkk menerima Rp 40 miliar untuk memberi vonis lepas. Berikut rinciannya:
1. Penerimaan pertama, uang tunai dalam bentuk pecahan USD 100 sebesar USD 500.000 atau senilai Rp 8.000.000.000 dengan rincian penerimaan masing-masing pihak sebagai berikut:
- Muhammad Arif Nuryanto, pecahan USD senilai Rp 3.300.000.000
- Wahyu Gunawan selaku panitera, pecahan USD senilai Rp 800.000.000
- Djuyamto, pecahan USD dan SGD senilai Rp 1.700.000.000
- Agam Syarief Baharudin, pecahan USD dan SGD senilai Rp 1.100.000.000
- Ali Muhtarom, pecahan USD senilai Rp 1.100.000.000
2. Penerimaan kedua, uang tunai dalam bentuk pecahan USD 100 sebesar USD 2.000.000 atau senilai Rp 32.000.000.000 dengan rincian penerimaan masing-masing pihak sebagai berikut:
- Muhammad Arif Nuryanto, pecahan USD senilai Rp 12.400.000.000
- Wahyu Gunawan, sebesar USD 100.000 atau senilai Rp 1.600.000.000
- Djuyamto, pecahan dolar Amerika senilai Rp 7.800.000.000
- Agam Syarief Baharudin, pecahan USD senilai Rp 5.100.000.000
- Ali Muhtarom, pecahan USD senilai Rp 5.100.000.000.