Majelis hakim menegur penilai di Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) MBPRU yang dihadirkan sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi akuisisi saham PT Jembatan Nusantara (PT JN). Teguran itu diberikan hakim karena penilaian aset PT JN dinaikkan atau dimaksimalkan.
Penilai KJPP MBPRU yang dihadirkan sebagai saksi yakni Endra Supriyanto, Ahsin Silahudin dan Kokoh Pribadi. Mereka bersaksi untuk terdakwa mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi, mantan Direktur Komersial dan Pelayanan ASDP Yusuf Hadi, serta mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan ASDP Harry Muhammad Adhi Caksono.
Hakim mempertanyakan penilaian aset PT JN yang tidak dibuat apa adanya melainkan dinaikkan atau dimaksimalkan. Sebagai informasi, para saksi merupakan penilai untuk pekerjaan due diligence akuisisi PT JN.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ketika MBPRU ini diminta untuk menilai, kenapa tidak dinilai apa adanya? Kenapa harus divaluasi, dimaksimalkan, ada pembicaraan-pembicaraan seperti itu. Padahal hasil ini nanti yang saudara buat, ini akan menjadi bahan ASDP untuk bernegosiasi atau tidak?" tegur hakim anggota Nur Sari Baktiana di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (14/8/2025).
"Kenapa tidak dibuat dengan nilai apa adanya yang memang nilainya kecil sehingga ASDP punya angka kecil untuk bernegosiasi, kenapa tidak dibuat seperti itu?" tambah hakim.
"Karena dapat informasi bahwa itu dinilai oleh penilai sebelumnya Rp 2,2 triliun itu," jawab Ahsin.
Tonton juga video "KPK Mulai Penyidikan Dugaan Korupsi di ASDP, Sita Sejumlah Mobil" di sini:
Kokoh mengaku hanya melakukan penilaian terhadap aset. Dia mengatakan pihaknya tidak memperhitungkan jika aset itu seolah-olah digunakan untuk dasar keputusan pengambilan kapal.
"Izin, Yang Mulia, terkait nilai dan memaksimalkan nilai, jujur kami perbandingannya adalah untuk objek yang sama pernah dilakukan penilaian oleh KJPP sebelumnya," kata Kokoh.
"Apakah bisa saudara gunakan acuan KJPP sebelumnya, itu dalam ibarat event yang lain. Saudara event akuisisi?" tanya hakim.
"Izin, Yang Mulia, terkait penilaian yang kami lakukan, mungkin benar kami menilai aset untuk salah satu proses akuisisi. Jadi kami tegaskan di sini bahwa kami menilai asetnya, tanda kutip kami tidak memperhitungkan bahwa seolah-olah aset yang kami keluarkan akan menjadi dasar keputusan untuk mengambil kapal atau perusahaan tersebut," jawab Kokoh.
Hakim meminta para saksi tidak menyangkal jika penilaian aset PT JN dilakukan pemaksimalan. Hakim mengatakan para saksi seharusnya bersikap profesional saat melakukan penilaian tersebut.
"Saudara jangan denial atas ini. Saudara ini justru konsultan dari beberapa yang saya sebutkan tadi, kuncinya ada di saudara. Saudara ini sebenarnya sehingga kalaupun akhirnya dikaji ulang, dengan penghitungan saudara yang tidak presisi tadi, dimaksimalkan, valuasinya dinaikkan, saudara itu menjadi perlu juga untuk dilanjutkan proses. Sehingga tadi saudara terangkan sudah mendapat teguran, teguran diperiksa oleh penasihat hukum terdakwa," tegur hakim.
"Seharusnya saudara profesional saja, nilainya segini-segini. Saudara berhadapan dengan siapa? Dengan BUMN. BUMN ini tidak hanya bicara keuntungan, mereka tidak boleh profitable dalam pekerjaan utamanya, harus profit saja, profit saja, tidak. Sosialnya itu juga menjadi tugas dari pemerintah. Paham tidak saudara itu?" tambah hakim.
"Paham Yang Mulia," jawab Kokoh.
"Dari keterangan Bapak, Pak Kokoh tadi masih bersikukuh bahwa saya berdasarkan ini, ini, ini. Tapi di lubuk hati yang paling dalam saya pastikan itu, saudara merasa bahwa ada sesuatu yang miss yang kita lakukan sehingga ada perkara ini. Coba saudara bisa komentari. Silakan. Silakan," ujar hakim.
"Yang pasti kami bekerja sesuai dengan keahlian kami Yang Mulia, dan saya pribadi pada waktu itu bekerja sesuai dengan kemampuan dan kode etik yang ada," timpal Kokoh.
Hakim mengatakan Ahsin, Kokoh, dan Endra hanya bekerja berdasarkan perintah. Hakim bahkan berujar jika hal itu akan menjadi gejolak pribadi para saksi jika tidak mengakui perbuatannya.
"Tapi dari pembicaraan saudara di WhatsApp ini, itu problematika di hati saudara bertiga ini, ada itu. Entah saudara akui atau tidak di persidangan ini, tapi semua yang membaca chat itu bisa menerjemahkan gejolak hati saudara bertiga. Saudara mungkin tidak berani untuk mengakui ini di persidangan, karena ini terbuka untuk umum dan diliput oleh media. Silakan saudara bergejolak dengan sendirinya. Gitu ya. Nanti kita lihat dan kita dengar bersama keterangan dari atasan saudara," tegur hakim.
Sebelumnya, tiga mantan petinggi PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) didakwa merugikan negara Rp 1,25 triliun dalam kasus dugaan korupsi akuisisi saham PT Jembatan Nusantara (PT JN) pada 2019β2022. Jaksa KPK mengatakan kapal yang diakuisisi para terdakwa sudah tua dan tidak layak karena dalam kondisi karam.
Sidang dakwaan digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (10/7/2025). Para terdakwa dalam kasus ini adalah mantan Direktur Utama ASDP Ira Puspadewi, mantan Direktur Komersial dan Pelayanan ASDP Yusuf Hadi, serta mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan ASDP Harry Muhammad Adhi Caksono.
"Yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 1.253.431.651.169 berdasarkan laporan penghitungan kerugian keuangan negara LHA-AF-08-DNA-05-2025 tanggal 28 Mei 2025," ujar jaksa KPK Wahyu Dwi Oktavianto saat membacakan surat dakwaan.
Jaksa mengatakan perbuatan ini dilakukan Ira dkk bersama Adjie selaku beneficial owner PT JN. Para terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.