Zara Yupita Azra, terdakwa kasus perundungan dan pemerasan di PPDS Anestesi Universitas Diponegoro (Undip), menangis saat diperiksa sebagai saksi. Dia mengaku juga mendapat tekanan saat menjadi mahasiswa.
Sidang yang dipimpin oleh ketua majelis hakim Djohan Arifin di Pengadilan Negeri (PN) Semarang ini beragendakan pemeriksaan saksi mahkota. Zara diperiksa sebagai saksi untuk terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani yang didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan karena memungut BOP sebesar Rp 80 juta per mahasiswa.
Zara menangis saat ditanya jaksa penuntut umum (JPU) Sandhy Handika soal kondisi emosionalnya saat menjadi mahasiswa dan kerap dimarahi senior.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya ada trauma sih. Kondisinya kita jam kerja panjang, beban kerja tinggi. Jadi kalau saya seperti itu, saya lelahnya luar biasa," kata Zara di PN Semarang, Rabu (6/8/2025).
"Capeknya luar biasa. Ditekan secara emosional. Pasti yang keluar kan nggak mungkin sesuatu yang bagus," lanjut Zara sambil menangis.
Zara menceritakan, sejak awal masuk sebagai residen, ia dan teman-temannya sudah mendapatkan 'operan tugas' dari angkatan di atas mereka. Operan itu sudah berlangsung lama tanpa ia ketahui kapan awal mulanya.
"Kebetulan kita operannya sesuai divisi, ada divisi logistik, transportasi, ilmiah, keagamaan, olahraga. Kebetulan saya di divisi ilmiah. Di divisi ilmiah ada beberapa operan tugas yang dioperkan ke kita, adik-adik," ungkapnya.
Ia mengaku masuk ke divisi ilmiah. Saat itu, operan tugas disebut bisa dikerjakan dirinya maupun menggunakan bantuan joki.
"Kita pakai jasa joki karena kita mau istirahat. Saya sama teman saya, tugas ilmiahnya kami lempar ke joki. (Berapa biayanya?) Per semester Rp 25β40 juta, satu residen per bulan," kata Zara.
Ia juga mengakui adanya biaya operasional pendidikan (BOP) sebagai pungutan dana tak resmi sebesar Rp 80 juta.
"Katanya untuk biaya CBT, OSCE, komprehensif, penelitian, publikasi, sampai tesis. Dan kalau ada sisanya dikembalikan," tutur Zara.
Namun ia mengklaim tidak tahu aliran uang tersebut disampaikan ke mana setelah dikumpulkan oleh bendahara angkatan.
Ia juga mengaku sempat memarahi adik tingkatnya, termasuk mendiang Aulia, tapi ia membantah telah melakukan kekerasan verbal berlebihan.
"Jujur saya nggak pernah marah-marah, teriak. Emang ngomongnya kasar, 'jangan diulangi lah, jangan bodoh, jangan goblok'. Kalau laki-laki mungkin ada yang marah-marah," ujarnya.
Ia menyebutkan, dalam sistem PPDS anestesi, jika seorang junior melakukan kesalahan, seniornya ikut menanggung akibat.
"Hukumannya untuk semester II biasanya paling sering tambah jaga dan jaga full tiap harinya, atau last man (keluar terakhir), atau menanggung pekerjaan semester 1 kalau tidak beres," kata dia.
"Biasanya dari senior meminta untuk membereskan adik-adik, artinya dikumpulkan, dievaluasi bersama, itu mengurangi istirahat kami, jadi sama-sama dihukum," lanjutnya.
Baca selengkapnya di sini.
Simak juga Video: Menkes Sebut Kasus Bullying PPDS Undip Dokter Aulia Sudah P21