Pengidap Autoimun Minta MK Tetapkan Sakit Kronis Masuk Kategori Disabilitas

Pengidap Autoimun Minta MK Tetapkan Sakit Kronis Masuk Kategori Disabilitas

Haris Fadhil - detikNews
Rabu, 06 Agu 2025 09:39 WIB
Image of the blue painted symbol on a parking spot indicating that the spot is for handicapped only.  The symbol is a blue square, with the international symbol for handicapped parking in the middle of it.  The black asphalt is clean and new.
Ilustrasi fasilitas untuk penyandang disabilitas (Foto: Getty Images/iStockphoto/KaraGrubis)
Jakarta -

Pasal yang mengatur pengertian penyandang disabilitas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon meminta MK mengubah pasal itu dan menetapkan pengidap penyakit kronis sebagai penyandang disabilitas.

Dilihat dari situs resmi MK, Rabu (6/8/2025), gugatan nomor 130/PUU-XXIII/2025 itu diajukan oleh Raissa Fatikha dan Deanda Dewindaru. Mereka menggugat Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Penyandang Disabilitas.

Berikut petitum para pemohon:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

1. Menyatakan Pasal 1 angka 1 UU Penyandang Disabilitas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: 'Penyandang disabilitas merupakan setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, sensorik, dan/atau penyakit kronis dalam jangka waktu yang lama dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak'

2. Menyatakan Pasal 4 ayat (1) UU Penyandang Disabilitas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: Ragam Penyandang Disabilitas meliputi:
a. Penyandang Disabilitas fisik;
b. Penyandang Disabilitas intelektual;
c. Penyandang Disabilitas mental;
d. Penyandang Disabilitas sensorik dan/atau;
e. Penyandang Disabilitas penyakit kronis.

ADVERTISEMENT

3. Menyatakan penjelasan Pasal 4 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai:
Huruf a
Yang dimaksud dengan "Penyandang Disabilitas fisik" adalah terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta, dan orang kecil.

Huruf b
Yang dimaksud dengan "Penyandang Disabilitas intelektual" adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrom.

Huruf c
Yang dimaksud dengan "Penyandang Disabilitas mental" adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain:
a. psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; dan
b. disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif.

Huruf d
Yang dimaksud dengan "Penyandang Disabilitas sensorik" adalah terganggunya salah satu fungsi dari panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara.

Huruf e
Yang dimaksud "Penyandang Disabilitas penyakit kronis" adalah orang dengan penyakit kronis yang menyebabkan terganggunya fungsi kemampuan fisik dan lainnya (namun tidak terbatas pada) seperti kemampuan mental dalam waktu lama (baik terus-menerus maupun fluktuatif) serta mengalami hambatan atau kesulitan dalam aktivitas sehari-hari secara signifikan seperti/mencakup aktivitas merawat diri, tugas domestik, pekerjaan, mobilitas, interaksi sosial, maupun aktivitas lainnya yang menjadi keseharian utama individu.

Alasan Permohonan

Pemohon I, Raissa Fatikha, mengatakan dirinya merupakan pengidap penyakit saraf/nyeri kronis Thoracic Outlet Syndrome sejak 2015. Dia mengatakan penyakit itu membuat dirinya merasakan nyeri terus-menerus di bagian tangan kanan, pundak, dan dada kanan atas sehingga menyebabkan keterbatasan fungsi tangan kanan.

Raissa mengatakan dirinya kesulitan mendapatkan hak seperti akomodasi dan aksesibilitas yang layak karena tak tercatat sebagai penyandang disabilitas. Dia mengatakan juga mengalami kesulitan saat menjalani pendidikan profesi psikologi karena tak ada fasilitas yang mempermudah dirinya beraktivitas. Dia juga mengaku tak bisa mendaftar sebagai penumpang prioritas di transportasi umum meski mengalami keterbatasan dalam gerak akibat penyakit saraf tersebut.

"Pemohon I merasa kesulitan untuk mendapatkan Akomodasi yang Layak dan Aksesibilitas di kampus, seperti (1) pada proses seleksi/ujian masuk, terpaksa harus menulis untuk menjawab pertanyaan esai dan (2) mendapatkan pengajaran di ruang kelas pada gedung yang tidak tersedia lift," ujarnya.

Sementara itu, pemohon II Deanda mengatakan dirinya merupakan pengidap autoimun Guillain-barre Syndrome sejak 2022. Dia mengatakan penyakit itu membuatnya mengalami letih terus-menerus sehingga tak maksimal dalam menjalankan aktivitas.

Dia mengatakan akan kesulitan berjalan jika kondisi tubuhnya memburuk. Meski mengalami keterbatasan gerak, Deanda mengatakan dirinya tak bisa mendapatkan akomodasi atau fasilitas seperti penyandang disabilitas karena penyakitnya bukan termasuk kategori disabilitas.

"Bahwa dalam melamar pekerjaan CPNS, pemohon II tidak dapat mengisi formasi disabilitas dikarenakan tidak tergolong dalam kategori disabilitas sehingga pemohon II melamar dalam formasi umum Kemendiktisaintek," ujarnya.

Pemohon juga mengatakan para pengidap penyakit kronis rentan mendapat tindakan diskriminatif. Mereka menyebut memasukkan pengidap penyakit kronis ke dalam UU Penyandang Disabilitas bakal memberi perlindungan serta pencegahan tindakan diskriminatif.

"Dalam dunia kerja, orang dengan penyakit kronis juga mengalami tantangan untuk mendapatkan pengakuan akan aksesibilitas dan akomodasi yang Layak. Namun, hal demikian dapat diantisipasi apabila orang dengan penyakit kronis tergolong sebagai disabilitas," ujarnya.

Pemohon mengatakan, jika penyakit kronis digolongkan sebagai penyandang disabilitas, itu dapat mencegah orang dengan penyakit kronis terdampak aturan yang diskriminatif seperti syarat 'sehat jasmani dan rohani' yang sering ditemukan dalam syarat penerimaan kerja. Selain itu, katanya, pengakuan penyakit kronis sebagai disabilitas dapat mengakui perlindungan bagi orang dengan penyakit kronis ketika kembali bekerja usai menjalani pengobatan intensif.

Simak juga Video: Penjelasan Dokter soal Peluang Sembuh Penderita Autoimun

Halaman 2 dari 4
(haf/zap)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads