Komunitas pengusaha sound system di Malang mengganti nama sound horeg menjadi Sound Karnaval Indonesia usai adanya fatwa haram dan batasan dari Pemprov Jatim. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur menegaskan fatwa MUI tidak mengatur soal nama, melainkan dampak kebisingan yang ditimbulkan.
MUI Jatim menekankan pergantian nama itu tak mengubah substansi pelanggaran yang selama ini menjadi sorotan, yakni suara yang terlalu bising hingga mengganggu kesehatan masyarakat.
"Mau namanya diganti ya aturannya kan soal desibel. Jadi nggak terbatas soal nama sound horeg, kami tidak mengurusi soal nama sound horeg, tapi soal desibel yang harus diatur sesuai WHO," kata Sekretaris MUI Jatim KH Hasan Ubaidillah saat dikonfirmasi, seperti dilansir detikJatim, Kamis (31/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
MUI Jatim, lanjut Ubaidillah, tidak mempermasalahkan merek atau istilah yang digunakan oleh komunitas sound system. Namun, jika melanggar ambang batas desibel, tetap akan ditindak oleh aparat karena mengganggu ketertiban dan kesehatan.
"Itu sebenarnya fatwa MUI Jatim tidak hanya persoalan merek, karena sebagaimana yang sudah kami sampaikan merek itu diberi masyarakat. Artinya berganti istilah apapun, jadi sound horeg atau sound festival atau yang lain, selama tingkat kebisingannya desibelnya di atas batas normal atau di atas 85 desibel sesuai standar WHO, tetap saja mengganggu ketertiban umum dan mengganggu pendengaran manusia hingga menyebabkan kesehatan," bebernya.
"Intinya kalau mengganggu kesehatan artinya ketika mendengar suara itu maka ada potensi gangguan telinga permanen, gangguan kognitif," tambahnya.
Baca selengkapnya di sini
(idh/imk)