Said Aqil dan Wamen Stella Bicara di Konferensi Pesantren, Soroti soal AI

Taufiq Syarifudin - detikNews
Rabu, 25 Jun 2025 14:00 WIB
Said Aqil dan Wamendiktisaintek di Konferensi Pesantren (Taufiq Syarifudin/detikcom)
Jakarta -

Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj mengatakan pesantren harus memiliki kemandirian jika ingin menyumbangkan sesuatu untuk bangsa dan negara. Dia juga menyebut wasathiyah atau sikap moderat mempersyaratkan kecakapan pengetahuan dan kebijaksanaan.

Hal itu dia sampaikan saat menjadi pembicara di International Conference on the Transformation of Pesantren atau Internasional Transformasi Pesantren di sebuah hotel kawasan Sudirman, Rabu (25/6/2025). Said Aqil menuturkan santri di pesantren harus meneladani ulama terdahulu.

"Atsar pengetahuan dan kebijaksanaan pada gilirannya mewujud dalam sikap kemandirian. Pribadi-pribadi besar dalam sejarah panjang pesantren adalah kisah kisah mengenai kemandirian. Hanya dengan menjadi mandiri, kita baru mungkin menyumbangkan sesuatu, berkontribusi pada hidup bersama, berkhidmat pada peradaban dunia," kata Said Aqil dalam sambutannya.

Said Aqil melanjutkan, pada zaman modern ini, masalah baru datang bertubi-tubi. Misalnya perubahan iklim, kesenjangan ekonomi, bio-tech atau AI, polarisasi percakapan dan identitas, radikalisme-bioterorisme, hingga krisis energi.

"Sementara itu, laju teknologi bergerak secara eksponensial. Kita harus mampu menawarkan kemudahan risiko yang tak sepenuhnya bisa diperkirakan risiko-risikonya," jelasnya.

Lantas, apa yang perlu dilakukan santri lulusan pesantren sekarang ini? Said Aqil menyoroti bahwa santri saat ini kekurangan visi dan misi ketika keluar dari pesantren.

"Jadi ilmunya banyak, setelah pulang ke masyarakat, untuk apa ilmu saya ini? Ilmu saya itu untuk apa? Alfiyah, fathul muin, fathul wahab, untuk apa? Ini karena kekurangan membangun visi-misi. Jadi perlu ada diskusi atau ada musyawarah kelompok setelah yang akan tamat, yang akan pulang dari pesantren, coba ada diskusi apa yang harus dilakukan, step by step, langkah pertama apa, kedua apa, ketiga apa. Jadi tidak ngacak, tidak asal-asalan," ungkapnya.

Sementara itu, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek) Stella Christie mengungkapkan, tantangan pesantren saat ini bagaimana memanfaatkan teknologi artificial intelligence. Hal ini, menurutnya, harus selaras dengan pendidikan yang mempunyai literasinya.

"Literasi itu artinya bisa menentukan bagaimana siapa yang perlu memecahkan masalah, AI-nya atau manusianya. Lalu yang kedua adalah kemampuan untuk mengambil keputusan, dan membawa kebijakan, kadang-kadang kita harus membuat perkecualian tetapi tentu saja keputusan, bagaimana manusia harus bisa mengambil keputusan. Yang ketiga adalah mengerti pemikiran manusia lainnya," jelas Stella.

Dia mencontohkan, jika manusia tidak mengerti pemikiran manusia lainnya, mereka tidak akan bisa memutuskan apakah boleh self-driving car oleh AI. Stella pun bertanya, kalau suatu saat ada kecelakaan siapa yang bertanggung jawab?

"Jadi apakah boleh di pesantren kita menggunakan AI untuk tugas-tugas rumah kita? Ini siapa yang harus menentukannya? Tentu saja pendidiknya bersama-sama dengan manusianya. Jadi semakin di era kecerdasan buatan ini semakin pentinglah pendidikan yang mendidik manusianya untuk bisa berpikir, mempunyai proses penalaran, dan saya rasa ini sudah dijalankan di pesantren," ungkapnya.

Stella berpesan bahwa pesantren perlu melihat dunia yang terus berubah. Sehingga santri-santri lulusan pesantren memiliki kemampuan untuk berpikir lebih kritis.

"Penting sekali untuk manusianya kembali pemikiran, analisis, dan kemampuan untuk berpikir," tegasnya.

Simak juga video: Said Aqil Siroj Pastikan Dukung AMIN 100 Persen




(yld/dhn)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork