Pucuk pimpinan KPK segera berganti. Para perwakilan rakyat di Senayan telah memilih lima orang yang kelak menjadi pimpinan KPK selama lima tahun mendatang.
Sosok terpilih itu mulai dari Setyo Budiyanto, Fitroh Rohcahyanto, Ibnu Basuki Widodo, Johanis Tanak, dan Agus Joko Pramono. Setyo Budiyanto kemudian meraih suara terbanyak untuk menduduki kursi Ketua KPK periode 2024-2029.
Para pimpinan baru KPK ini terpilih setelah melalui serangkaian proses seleksi. Tahapan pendaftaran seleksi calon pimpinan KPK periode 2024-2029 telah dibuka sejak 26 Juni hingga 15 Juli 2024. Saat itu 318 orang mendaftar sebagai calon pimpinan KPK.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Panitia seleksi (Pansel) KPK kemudian mulai melakukan rangkaian seleksi mulai dari penyaringan administrasi, tes tulis, tes assesmen, hingga tes wawancara dan Kesehatan. Proses seleksi itu menghasilkan 10 orang yang kemudian diuji kepatutan dan kelayakan di DPR.
detikcom merangkum sejumlah visi hingga janji dari lima pimpinan baru KPK terkait isu pemberantasan korupsi di Indonesia saat diuji di DPR. Berikut rinciannya.
1. Setyo Budiyanto Soroti Ego Sektoral hingga OTT
Uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK digelar di ruang rapat Komisi III DPR, Jakarta, Senin (18/11). Setyo Budiyanto menjadi peserta pertama yang diuji oleh anggota DPR.
Dalam paparannya, Setyo menyoroti sejumlah isu yang menjadi persoalan di internal KPK. Pertama, ia menilai masih adanya ego sektoral di antara pimpinan KPK dengan aparat penegak hukum lainnya.
"Sering kali pimpinan menganggap bahwa merasa tidak perlu ketemu. Terutama pimpinan di level KPK. Menganggap mungkin karena levelnya sudah terlalu tinggi, tidak mau bertemu dengan Jaksa Agung, tidak mau ketemu Kapolri, merasa yang perlu bertemu adalah level deputi," kata Setyo dalam paparannya.
Setyo juga menyinggung hubungan pimpinan dan pegawai KPK. Dia menilai ada jarak di antara sesame insan KPK. Setyo pun mengusulkan untuk menghapus lift VIP bagi pimpinan KPK.
"Kalau perlu di KPK itu ada lift VIP yang jadi jalur pimpinan. Kalau perlu ini akan diubah. Nah itu berlaku umum saja, jadi ndak perlu lagi ada jalur VIP yang untuk pimpinan saja," katanya.
Setyo mengatakan selama ini pimpinan KPK turun di rubanah atau basement, dan masuk melalui lift VIP sehingga tidak ada interaksi dengan para pegawai KPK.
"Selama ini pimpinan itu turun di basement. Kemudian masuk di lift VIP, sampai di lantai 15 dan tidak pernah bertemu dengan pegawai, tidak pernah berinteraksi dengan pegawai, kemudian pulang juga seperti itu," ujarnya.
Para anggota Komisi III DPR juga mencecar Setyo dengan nasib operasi tangkap tangan (OTT). Setyo menilai OTT masih perlu dilakukan KPK secara selektif.
"Menurut kami, OTT itu masih diperlukan. Karena kenapa diperlukan, OTT adalah pintu masuk terhadap perkara-perkara yang diperlukan untuk bisa membuka perkara yang lebih besar," kata Setyo.
Setyo mengatakan memang OTT itu tidak harus banyak dan harus selektif untuk melakukannya. Hal itu untuk mencegah adanya tindakan perlawanan seperti praperadilan.
"Memang, OTT ini tidak perlu harus banyak, betul-betul selektif, prioritas, tetapi masih diperlukan untuk saat ini. Betul-betul selektif, prioritas, dalam rangka mengantisipasi hal-hal misalkan adanya praperadilan, dan lain-lain," kata dia.
2. Fitroh Rohcahyanto Janji Perbaiki Masalah Internal di KPK
Saat diuji kelayakan di DPR, Fitroh Rohcahyanto menyinggung banyaknya masalah internal di KPK. Dia menilai hal itu jarang terjadi saat ia pertama kali bertugas di lembaga antirasuah tersebut.
"Hari-hari terakhir KPK banyak masalah, mulai dari pimpinannya yang terlibat pelanggaran etika. Kemudian ada salah satu penyidik yang terlibat suap, bahkan mengenai suap di rutan," kata Fitroh dalam tes uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR RI, Jakarta, Senin (18/11).
"Dulu setahu saya saat itu tidak ada. Ketika 2011 saya bergabung dengan KPK setahu saya saat itu tidak ada. Dan di era-era ini itu bermunculan, saya meyakini keteladanan sangat penting," tuturnya.
Mantan Direktur Penyidikan KPK ini kemudian menawarkan konsep yang diberi nama IDOLA, yaitu I berarti integritas, D berarti dedikasi, O untuk objektif, L untuk loyalitas, dan A berarti adil.
"Oleh karenanya kepemimpinan harus betul-betul idola, pak. Kenapa idola? IDOLA itu terdiri dari 5 huruf. Dan masing-masing huruf itu tidak bisa berdiri sendiri, harus menjadi 1 kesatuan. Maknanya apa? Itu sama seperti jumlah pimpinan yang lima, tidak boleh terpisah," kata dia.
Baca selengkapnya di halaman selanjutnya:
3. Johanis Tanak Mau Hapus OTT
Dari 10 calon pimpinan KPK yang diuji di DPR, Johanis Tanak yang paling menjadi sorotan. Pasalnya, ia melontarkan janji yang cukup kontroversial. Sosok yang saat ini masih menjabat sebagai Wakil Ketua KPK ini berjanji akan menghapus operasi tangkap tangan (OTT) jika terpilih sebagai Ketua KPK.
"OTT menurut hemat saya kurang, mohon izin, walaupun saya di pimpinan KPK, saya harus mengikuti tetapi, berdasarkan pemahaman saya, OTT itu sendiri tidak pas, tidak tepat," kata Tanak.
Tanak menjelaskan, secara definisi, ada istilah operasi dalam OTT. Menurut KBBI, tindakan operasi harus dilakukan ketika semuanya sudah siap.
"OTT terdiri dari operasi tangkap tangan, operasi itu menurut KBBI adalah seorang dokter. Yang akan melakukan operasi, tentunya semua sudah siap, tentunya semua telah direncanakan," kata dia.
"Sementara pengertian tertangkap tangan menurut KUHAP adalah suatu peristiwa yang terjadi seketika itu juga pelakunya ditangkap. Dan pelakunya langsung menjadi tersangka. Kalau seketika pelaku itu menjadi melakukan perbuatan dan tangkap. Tentunya tidak ada perencanaan," tambahnya.
Untuk itu, dirinya mengatakan OTT itu tidak tepat. Dirinya juga telah menyampaikan pandangan pribadinya itu kepada pimpinan lain.
"Ya menurut hemat saya, OTT itu tidak tepat. Dan saya sudah sampaikan kepada temen-temen saya pribadi, tapi karena lebih mayoritas mengatakan itu menjadi tradisi. Apakah ini tradisi bisa diterapkan? Ya saya juga nggak bisa juga, saya menantang," sebutnya.
Tanak lantas mengatakan akan menghentikan OTT jika terpilih kembali menjadi pimpinan KPK. Usulannya itu pun disambut tepuk tangan para hadirin yang hadir dalam tes tersebut.
"Tetapi saya bisa jadi, mohon izin, Ketua, saya akan tutup, close, karena itu tidak sesuai pengertian yang dimaksud dalam KUHAP. Karena tidak sesuai dengan KUHAP," katanya.
4. Agus Joko Pramono Dicecar Riwayat Pernah Jadi Saksi di KPK
Saat dites di DPR, Agus Joko Pramono dicecar soal riwayat dirinya pernah dipanggil sebagai saksi di KPK. Agus pun menjelaskan bahwa dirinya dipanggil dengan statusnya sebagai saksi a de charge (saksi meringankan). Namun dirinya merasa kecewa dengan KPK pada saat itu karena tidak diberi tau dipanggil dengan kapasitasnya sebagai saksi meringankan.
"Tadi saya ditanya dipanggil saksi untuk terdakwa pada saat itu, terpidana pak Rizal Djalil, mantan anggota BPK. Saya jelaskkan bahwa saya pada saat itu dipanggil sebagai saksi a de charge, dan saya menolak untuk datang," kata Agus.
"Jadi saya cukup kecewa dengan sikap KPK pada saat itu, karena saya tidak diberi tau saya akan jadi saksi a de charge, padahal saya adalah wakil ketua BPK pada saat itu," tambahnya.
Wakil Ketua BPK periode 2019-2023 itu pun mengatakan seharusnya dirinya diberi tahu. Sebab, pemanggilan itu, kata dia, akan mempengaruhi kredibilitas dirinya.
"Karena begitu nama kita muncul di running text, orang kampung sudah tanya, kenapa ini dipanggil, padahal itu saksi a de charge. Dan pada saat saya dipanggil itu surat itu saya sedang jadi pembicara tentang pemberantasan korupsi dengan salah satu wakil ketua KPK. Saya langsung tanya, saya dipanggil kok nggak dibahas dulu, dalam konteks saksi a de charge," ucapnya.
Sebagai informasi, kasus yang dimaksudkan adalah terkait dugaan suap proyek pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM) di Kementerian PUPR tahun anggaran 2017-2018. Dalam kasus ini, KPK menjerat Komisaris Utama PT Minarta Duta Hutama, Leonardo Jusminarta Prasetyo, dan anggota BPK pada saat itu, Rizal Djalil.
5. Ibnu Basuki Widodo Singgung Penyadapan di KPK
Ibnu Basuki Widodo menyoroti salah satu pasal di revisi UU KPK terkait kegiatan penyadapan. Dalam UU KPK yang baru itu diketahui kegiatan penyadapan yang dilakukan harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK.
Pimpinan baru KPK dengan latar belakang hakim ini menilai aturan tersebut tidak melemahkan KPK. Ibnu justru berpendapat aturan itu membuat penyadapan yang dilakukan KPK tidak sewenang-wenang.