Harvey Moeis Klaim Duit dari Smelter Swasta Dipakai untuk Bantuan COVID

Mulia Budi - detikNews
Rabu, 23 Okt 2024 15:51 WIB
Harvey Moeis (Foto: Ari Saputra/detikcom)
Jakarta -

Terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan timah, Harvey Moeis, mengaku tak pernah memakai istilah dana pengamanan ataupun dana corporate social responsibility (CSR) ke smelter swasta. Harvey mengaku hanya menggunakan istilah dana kas bersama.

Mulanya, ketua majelis hakim Rianto Adam Pontoh mendalami Harvey soal permintaan dana USD 500 per ton ke smelter swasta yang bekerja sama dengan PT Timah. Harvey mengatakan dirinya yang menginisiasi dana itu, namun menggunakan istilah dana kas sosial bersama.

"Itu kesepakatan semuanya," kata Harvey Moeis yang dihadirkan sebagai saksi untuk terdakwa lainnya dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan timah di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (23/10/2024).

"Mereka tidak keberatan?" tanya hakim.

"Tidak keberatan malah angkanya dari mereka, Yang Mulia," jawab Harvey.

Hakim lalu menanyakan istilah dana pengamanan yang digunakan untuk dana CSR tersebut. Harvey mengklaim tak pernah memakai istilah dana pengamanan atau dana CSR melainkan kas sosial.

"Kas bersama, Yang Mulia," jawab Harvey.

Jaksa kemudian mendalami penggunaan dana kas sosial tersebut. Harvey mengklaim menggunakan dana itu untuk membantu penanganan pandemi COVID-19.

"Tadi Saudara mengatakan bahwa di BAP (berita acara pemeriksaan) Saudara, saya bacakan ya, 'kemudian uang tersebut saya salurkan atau distribusikan kepada Saudara Suparta' ini di BAP Saudara. Benar nggak?" tanya jaksa.

"Jadi karena sebetulnya saya menginginkan seperti itu Yang Mulia, makanya saya BAP-nya bunyinya seperti itu. Tapi pada kenyataanya sebelum saya bisa menyalurkan dana itu atau mengadopsi program itu, terjadilah COVID, Yang Mulia. Lalu saya pikir itu adalah hal yang lebih mendesak, dan bantuan ketika itu sangat dibutuhkan sehingga akhirnya saya, dana itu terpakai untuk COVID," jawab Harvey.

Harvey mengaku tak ingat total duit yang sudah terkumpul. Dia mengklaim tak ada uang yang dialirkan ke Suparta selaku Direktur Utama PT Refined Bangka Tin.

Selain itu, jaksa juga mencecar Harvey soal

kesepakatan sewa peralatan pelogaman timah antara PT Timah dan PT Refined Bangka Tin, yang diwakilinya, senilai USD 4.000 per ton Sn. Dia memgaku baru mengetahui harga sewa untuk empat smelter swasta lainnya hanya USD 3.700 per ton Sn dari persidangan.

"Saudara ingat untuk RBT sendiri berapa harga perjanjiannya ? harga pembiayaaan untuk kerja sama itu sewa smelternya berapa?" tanya jaksa.

"USD 4.000, Pak," jawab Harvey.

Jaksa lalu menanyakan apakah PT Timah melakukan negosiasi terhadap harga sewa smelter USD 4.000 per ton Sn dari PT RBT tersebut. Harvey mengatakan direksi maupun staf PT Timah saat itu menyebut perusahaannya 'gendut'.

"Dari sekian, dari rangkaian pertemuan-pertemuan itu. apakah dari PT Timah ada penyampaian nggak atau negosiasi harga nggak? misalnya nih ya, ini pertanyaan kepada Saudara. Bahwa PT Timah kalau di smelter sendiri cuma USD 1.000 nih, sepertinya terlalu besar nih USD 4.000 yang diminta oleh PT RBT?" tanya jaksa.

"Tidak ada Pak," jawab Harvey.

"Nggak ada dari PT Timah?" tanya jaksa.

"Yang disampaikan ketika itu adalah, ini baik dari direksi maupun staf-staf yang hadir bahwa PT Timah itu, maaf, besar katanya perusahaannya terlalu, kata yang dipakai mungkin gendut waktu itu Pak. Jadi tidak bisa efisien," jawab Harvey.

Harvey mengatakan PT Timah juga mengeluarkan uang hampir Rp 1 triliun per tahun untuk gaji karyawan. Dia menilai hal itu menyebabkan harga yang dipatok perusahaan swasta dianggap murah.

"Yang saya ingat karyawannya 6 ribu bayar, yang saya waktu itu sangat kaget adalah bayar gajinya hampir Rp 1 triliun satu tahun. Saya bahkan waktu itu bilang, 'Waduh Pak itu berarti berapa puluh miliar satu bulan, setiap hari harus siapin uang Rp 2,5 miliar, Rp 3 miliar dong Pak buat bayar gaji gitu, Sabtu-Minggu juga dihitung' saya bilang saya nggak habis pikir waktu itu. Jadi ketika PT RBT mengajukan harga, semuanya kayaknya pikir itu murah Pak," jawab Harvey.

Berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum (JPU), Harvey Moeis disebut meminta dana pengamanan terkait kerja sama antara smelter swasta dengan PT Timah yang merupakan BUMN. Uang itu kemudian disamarkan sebagai dana CSR. Dana itu dikumpulkan lewat money changer milik crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK), Helena Lim, yang kemudian diberikan ke Harvey.

Jaksa mengatakan kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun. Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei. Kerugian tersebut berasal dari kerugian akibat kerja sama PT Timah dengan smelter swasta yang dilakukan tanpa kajian serta perhitungan kerusakan lingkungan oleh ahli. Jaksa juga menyebut Harvey bersama Helena Lim diperkaya Rp 420 miliar dari kasus ini.

"Telah mengakibatkan keuangan keuangan Negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14 atau setidaknya sebesar jumlah tersebut berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah Di Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah, Tbk Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2022 Nomor PE.04.03/S-522/D5/03/2024," ungkap jaksa saat membacakan dakwaan Helena Lim di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (21/8).

Simak Video: JPU Bakal Hadirkan 15 Ahli di Sidang Harvey Moeis







(mib/haf)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork