Kala merantau ke Jawa, Ganzerlana hanya punya satu impian yaitu menjadi pemain gitar profesional. Pikirannya sudah tertambat pada Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, tempat menempuh pendidikan musik yang diyakini akan mengantar Ganzerlana menuju impian tersebut.
Namun, sesaat sebelum Ganzerlana menempuh pendidikan, hatinya terpaut pada instrumen musik lain dari daerahnya sendiri, yaitu Sasando. Sejak 'bertemu' dengan sasando, Ganzerlana terpikat pada keindahan suara dan tampilan alat musik asal Nusa Tenggara Timur (NTT) itu. Rencana pun berubah, ia bertekad mempelajari sasando sampai mahir.
Satu bulan lamanya les sasando dijalani Ganzerlana di Kupang, NTT. Durasi latihannya pun tak main-main, bisa 9 hingga 10 jam per hari. Siang dan malam, hari-hari Ganzerlana pun ditemani oleh sasando. Begitu 'dekat'-nya ia dengan alat musik ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"(Sasando) udah kayak, 'istri'-nya saya," ujar Ganzerlana.
Ganzerlana pun melanjutkan pendidikan di ISI Yogyakarta jurusan Etnomusikologi. Kendati mempelajari hampir seluruh musik etnik Indonesia, sasando tetap nomor satu di hatinya. Menurut Ganzerlana, hal ini tidak lepas dari bunyi sasando yang tak pernah gagal menghipnotis dirinya, damai dan sarat akan nuansa magis.
"Sound-nya magic banget. Siapapun yang mendengar sound-nya, pasti langsung jatuh cinta (dengan) alat ini. Karena dari pantulan-pantulan senarnya itu kayak tenang gitu," jelas Ganzerlana di program Sosok, detikcom.
Lebih lanjut, Ganzerlana bertutur bahwa mendengarkan permainan sasando laksana berada di dekat gemericik air. Perasaan ini pun mengingatkannya pada penggunaan sasando di masa lampau, yakni sebagai pengiring ritual komunikasi rakyat dengan alam. Ia juga menjelaskan bahwa hingga kini, masyarakat di Pulau Rote, NTT, masih menggunakan sasando untuk mengiringi ritual pemanggilan hujan.
"Feel-nya benar-benar yang dia (sasando) mainin ini, adalah anggap saja kayak ketika kamu bermain musik, itu adalah kamu berdoa, gitu. Sehingga, orang-orang yang mendengar, itu bisa menikmati apa yang kamu doakan. Artinya, musik-musik etnik ini kan mereka lahir bukan sekadar lahir aja. Ada histori yang panjang di masyarakat pemiliknya," tutur Ganzerlana.
Sebagai harapan untuk mengenalkan sasando ke khalayak luas, Ganzerlana memadukan musik etnik dengan genre electronic dance music (EDM). Bersama dengan dua grup yang digawanginya, SAS (Sasando and Sape) dan Nusa Tuak, Ganzerlana kerap tampil memukau di panggung-panggung besar Indonesia dan mancanegara dengan membawakan aransemen ulang lagu-lagu populer dalam kemasan genre EDM etnik.
Terbilang sukses 'hidup' dari sasando, Ganzerlana menyadari bahwa tak semua musisi etnik hidup nyaman sepertinya. Menurut Ganzerlana, banyak yang perlu dibenahi di industri musik etnik Indonesia. Sebab hingga saat ini, ia merasa musik etnik belum bisa berdiri sendiri karena kurangnya akses belajar dan promosi musik etnik, sedikitnya pertunjukan khusus musik etnik, hingga terbatasnya dukungan moril serta materiil untuk para musisi etnik.
"Karena beberapa pengalaman yang, saya perform, misalkan di China, di Taiwan, gitu. Nah itu benar-benar industri etnik mereka benar-benar jalan, rapi banget. Di Jepang, itu benar-benar rapi banget dan musisi-musisi etnik itu mereka bisa hidup dengan bermusik aja. Seharusnya (Indonesia) punya wadah untuk industri musik etnik sehingga teman-teman kayak musisi-musisi etnik gitu mereka nggak mati kelaparan," ucap Ganzerlana.
Meski demikian, Ganzerlana tetap teguh dengan pendiriannya untuk mengembangkan alat musik etnik, terutama sasando. Sebab, baginya ini adalah tanggung jawab sebagai putra daerah Nusa Tenggara Timur untuk dapat melestarikan alat musik tradisional.
"Sampai kapan Ganzerlana akan ber-sasando? Sampai... sampai jadi debu. Hehe," kelakar Ganzerlana.
(nel/ppy)