Dede melanjutkan, sekolah kedinasan di bawah kementerian/lembaga lain masih ada yang tidak mengikuti standar biaya per siswa, yang semestinya ditanggung pemerintah. Menurutnya, sekolah kedinasan tersebut menanggung subsidi per siswa dengan nilai lebih tinggi ketimbang perguruan tinggi negeri (PTN).
"Rata-rata pengeluaran kampus PTN itu sekitar Rp 10 juta per siswa per tahun. Nah sekolah K/L lainnya, itu ada yang mencapai Rp 100 juta per siswa per tahun, Rp 60 juta per siswa per tahun. Artinya, nggak mengikuti standar yang dibuat oleh Kemendikbud. Jadi, punya saya menyebutnya simpel saja,' negara dalam negara'," terang Dede.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sehingga apa yang diterima mahasiswa di kampus-kampus ini akan berbeda dengan yang diterima di kampus-kampus yang umum. Karena tidak adanya kesetaraan ini, yang terjadi adalah jomplang fasilitas, jomplang pembiayaan dan lain-lain," sambungnya.
KPK sebelumnya menjelaskan alasan UKT di perguruan tinggi terus melonjak setiap tahun. KPK mengatakan subsidi yang diberikan pemerintah kini banyak dipakai untuk sekolah milik lembaga atau kedinasan.
Pahala mengatakan alokasi subsidi yang tidak sepenuhnya mengalir untuk perguruan tinggi negeri itu membuat biaya UKT terus membengkak.
"Nah, sekarang ini pemerintah memberi bantuan operasional hanya tiga, itulah yang lewat seluruh PTN. Yang kasih PTN per siswa hanya tiga, yang tujuh disuruh cari sendiri lewat orang tua. Itulah UKT, itulah jalur mandiri, itulah bisnis PTN," kata Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan dalam diskusi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (10/6).
"Tapi akibat dari yang (berkurang) tujuh inilah keluar jalur mandiri, keluar kasus UKT dinaikin sedikit ribut. Ya karena pemerintah cuma kasih tiga," sambungnya.
(fca/aud)