Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menjelaskan awal mula munculnya ide Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Suharso mengatakan tabungan itu berasal dari undang-undang saat dirinya masih menjabat Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) 2009-2011.
"Kemampuannya itu baik untuk mengadakan rumah itu sendiri maupun bagaimana membelinya untuk mendapatkannya, apalagi sejak amandemen UUD, perumahan itu sudah menjadi hak dasar bagi setiap warga negara," kata Suharso di kompleks parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (4/6/2024).
"Sehingga kami waktu itu memikirkan apa saja yang perlu dilengkapi agar backlog itu bisa dapat diatasi," sambungnya.
Suharso mengatakan kondisi tanah semakin ke sini kian terbatas. Muncullah kebijakan pembangunan rumah secara vertikal atau disebut rumah susun.
"Maka dikenalkanlah rusun-rusun, dan itu sebetulnya jauh sebelum zaman saya sudah dikenalkan. Tapi yang kami dorong waktu itu bagaimana kalau semua daerah menyediakan landbank sedemikian rupa, karena di zaman saya itu, saya juga belajar dari AS, meski mereka negara federal tapi, melalui instrumen APBN, AS diadakan landbanking untuk kepentingan publik, salah satunya perumahan," jelasnya.
Selain itu, kata dia, terkait cara membangun rumah. Menurutnya, hal itu akan menggerakkan industri luar biasa lantaran rumah sederhana membutuhkan 100-110 komponen.
"Kalau rumahnya semakin ngejelimet, makin hebat, keren, itu bisa sampai 1.000-an komponennya. Bayangkan industri di belakangnya yang akan ikut memompa untuk mengadakan. Syukur-syukur kalau itu membangkitkan industri di dalam negeri, semen-lah paku-lah, baja-lah," paparnya.
Setelah itu, Suharso menyampaikan pemerintah lalu berpikir terkait cara membeli rumah tersebut. Sebab, menurutnya, tidak semua orang memiliki kemampuan untuk membeli rumah secara langsung.
"Saya pertama waktu itu kebijakan yang saya ambil dan sampai hari ini digunakan yaitu FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan). Jadi FLPP itu likuiditas yang di-blended dari APBN dan dari perbankan komersial," ujarnya.
Suharso mengatakan alasan dikumpulkannya likuiditas ialah untuk masyarakat yang tidak memiliki bank. Terutama, kata dia, bagi masyarakat-masyarakat terpinggirkan.
"Terpikir oleh kami waktu itu pakai sistem tabungan yang sifatnya apristik, artinya bergantung pada sukarela kemampuan kita, kalau saya mampunya 100, ya 100, jadi kayak gotong royong kita pakai, ada yang bisa 100, 200, 300, 400, kita blended," jelasnya.
"Waktu kita blended siapa yang dapat duluan, kita lihat juga, jadi ada istilah yang kaya bisa berikan ke tengah, yang tengah bisa berikan ke bawah, jadi tidak dengan cara yang terlalu kaku. Itu ide dasarnya," lanjut dia.
Maka, kata dia, Tapera merupakan akumulasi modal oleh masyarakat yang bersifat sukarela. Suharso menyampaikan hal tersebut juga dipelajari olehnya dari Singapura.
"Saya belajar dari Singapura yang punya CPF itu, tapi untuk penduduk yang sudah establish dari hal penghasilan pendapatan dan pekerjaannya, dan kita jauh lebih besar dari Singapura backlog kekurangannya bisa 2-2,5 kali jumlah penduduk Singapura tiap tahun," ungkap dia.
Lebih lanjut, dia menyampaikan terkait Tapera telah ada dalam UU dan bersifat wajib. Meski begitu, Suharso mengatakan pemerintah tidak menutup kemungkinan untuk membahas kembali terkait kebijakan Tapera.
"Karena asal muasalnya begitu ya, ini untuk yang namanya menabung dipaksa nggak? Kata menabung itu bukan kata yang punya definisi memaksa," ucapnya.
"Jadi misal saya pernah ditanya begini, saya bilang contoh tabungan haji orang yang mau naik haji, dia nabung, satu ketika dia bisa naik haji, kalau ini ya untuk bisa beli rumah sesuai kapasitas dia menabung," imbuh dia.
(amw/eva)