Perdagangan karbon harus diatur secara tegas oleh negara. Perlu langkah serius mencegah kejahatan karbon.
Demikian disampaikan Ahli Hukum Lingkungan yang juga Mantan Plt Pimpinan KPK tahun 2009 Achmad Santosa. Pria yang akrab disapa Mas Otta melihat ada sejumlah modus yang dilakukan para pelaku kejahatan dalam perdagangan karbon.
"Saya rekomendasikan penguatan dan pengembangan regulasi untuk pencegahan dan penanggulangan kejahatan karbon, termasuk pengawasan dan penegakan hukum berdasarkan pemetaan modus operandi kejahatan dalam perdagangan karbon yang terjadi di negara-negara lain di dunia dan potensi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di Indonesia," kata Otta, dalam keterangan tertulis, Minggu (2/6/2024).
Hal tersebut disampaikan Otta saat berbincang dengan detikcom belum lama ini. Otta yang merupakan Anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (2009-2011) merangkum berbagai modus dan contoh kasus kejahatan karbon, meliputi praktik kejahatan dalam perdagangan karbon di negara di dunia berdasarkan Laporan Environmental Crime Program Interpol 2023, Deloitte Forensic Australia 2009, dan International Organization of Securities Commission 2023.
Kemudian, Otta juga memberikan rekomendasi langkah-langkah untuk mencegah dan melawan berbagai penipuan karbon.
Selain itu perlu pembagian dan kejelasan fungsi dan kewenangan yang jelas antara K/L dalam aspek perizinan proyek karbon (carbon project), monitoring, reporting, verification (MRV) dan kredit karbon. Kemudian pengawasan transaksi karbon di bursa karbon dan penegakan hukum terkait kejahatan karbon.
Selain itu diperlukan pengembangan kapasitas sumber daya manusia K/L dan instansi terkait yang terlibat dalam seluruh rangkaian perdagangan karbon untuk mencegah dan mengantisipasi kejahatan karbon.
"Juga perlunya mengaktifkan kerja sama bilateral dan multilateral di bidang pengawasan dan penegakan hukum untuk mengantisipasi kejahatan karbon antar negara (transnational organized crime). Saat ini, sudah saatnya Indonesia mengembangkan kerja sama strategis dengan Interpol (Environmental and Financial Crime Unit) untuk pengembangan kapasitas pengawas dan apgakkum (aparat penegak hukum) di Indonesia, untuk mencegah dan menanggulangi dengan cepat kejahatan dalam perdagangan karbon di Indonesia," kata Otta.
Otta pun menjelaskan berbagai kejahatan penipuan karbon, yang pertama yaitu kredit karbon yang bersifat fiktif atau dimiliki oleh orang lain (sale of carbon credits that either do not exist or belong to someone else). Sifat tak berwujud (intangible) dari kredit karbon memungkinkan pemisahan kepemilikan hak karbon dengan proyek fisiknya.
"Proyek seperti penanaman pohon, atau dekarbonisasi pabrik, misalnya, mungkin dimiliki dan dikelola oleh satu orang atau perusahaan, sementara orang lain memperoleh hak hukum untuk melakukan perdagangan kredit karbon. Oleh karena itu, risiko korupsi dan penipuan semakin besar karena karbon merupakan aset tidak berwujud yang kepemilikannya dibuktikan hanya oleh selembar kertas atau catatan di register pemerintah," jelas Otta.
Otta menambahkan penipuan juga bisa terjadi oleh pejabat pemerintahan yang memberikan izin mereka untuk melakukan registrasi dengan cara pemalsuan dokumen kepemilikan.
Modus selanjutnya yaitu melakukan manipulasi pengukuran (MRV) untuk mengklaim kredit karbon (manipulating measurements to fraudulently claim additional carbon credits).
Manipulasi pengukuran dan verifikasi untuk mengklaim kredit karbon tambahan secara curang terjadi dalam proyek-proyek Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanisms), yang menghasilkan kredit karbon berdasarkan perbedaan emisi yang terjadi dari proyek tersebut dibandingkan dengan skenario biasa.
"Hal ini memungkinkan pelaku penipuan untuk menggunakan dua cara (pelaporan data yang sengaja dibuat keliru dan analisis yang tidak kredibel oleh pihak yang melakukan pengukuran) untuk memanipulasi pengukuran dan mendapatkan lebih banyak kredit karbon secara tidak sah. Sebagai contoh, mekanisme Additionality3 yang diatur di dalam Pasal 12 Ayat 5 Huruf C Kyoto Protocol digunakan untuk memberikan kredit karbon kepada proyek yang menurunkan emisi melampaui yang sudah direncanakan (additional)," kata Otta.
"Akan tetapi, penentuan dan pengukuran additionality ini sulit dilakukan, sehingga memungkinkan terjadinya manipulasi," lanjutnya.
Modus keempat yaitu klaim palsu atau menyesatkan terkait dengan manfaat lingkungan atau keuangan dari investasi pasar karbon (false or misleading claims with respect to the environmental or financial benefits of carbon market investments). Kompleksitas dari pasar karbon, dan fakta mereka adalah pasar yang baru dikembangkan, sehingga masih terbatasnya pemahaman di antara pedagang dan pembeli.
"Hal ini telah dimanfaatkan oleh perusahaan, dengan banyak contoh kampanye iklan atau ajakan investasi yang melibatkan klaim yang salah dan menyesatkan," jelas Otta.
Modus berikutnya memanfaatkan Kelemahan Regulasi Sektor Keuangan untuk Melakukan Kejahatan (Exploitation of weak regulations to commit financial crimes). Krisis finansial global terkini telah jelas menunjukkan bahwa metode regulasi pasar saat ini rentan terhadap manipulasi seperti penggelapan pajak dan pencucian uang.
"Hal ini dikarenakan pertumbuhan investasi yang cepat, regulasi hukum yang kurang memadai dan sifat kredit karbon yang tak berwujud. Kompleksitas pasar karbon yang sulit untuk diatur serta pengaturan yang lemah membuat pasar karbon lebih mudah untuk dimanipulasi," tutur Otta.
Diperkirakan, lanjut Otta, kredit karbon dapat dihasilkan di suatu negara, dijual kepada pihak di negara lain yang diperdagangkan melalui beberapa bursa karbon sebelum sampai ke tangan pemilik akhir.
Semakin banyak negara yang terlibat, semakin sulit untuk melacak asal dan lalu lintas kredit karbon hingga ke pembeli akhir sehingga semakin mudah bagi pihak tertentu mengambil keuntungan dari celah hukum atau peraturan yang berbeda di berbagai yurisdiksi.
Modus yang terakhir adalah penipuan Pajak (Tax Fraud) Perdagangan karbon mengalami penipuan pajak yang melibatkan pencurian Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Jenis penipuan ini mengeksploitasi bagaimana PPN diberlakukan dalam perdagangan lintas yurisdiksi.
"Keuntungan didapat dengan cara membeli karbon di negara yang membebaskan PPN dan kemudian menjualnya ke negara lain dengan memberlakukan harga jual ditambah PPN ke negara yang memberlakukan PPN," pungkasnya.
(akn/ega)