Ketua Komisi A DPRD Provinsi DKI Jakarta Mujiyono meminta Pemprov DKI Jakarta mengambil langkah konkret terhadap sikap para pengembang yang hingga kini belum memenuhi kewajiban membangun fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum). Mujiyono mengaku heran karena Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP BPK) memberikan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) kepada Pemprov DKI. Padahal, menurutnya, ada sebanyak 1.311 surat izin peruntukkan penggunaan tanah (SIPPT) yang sejak 1971 belum menyerahkan kewajibannya berupa fasos-fasum hingga kini.
"Harus ada langkah dong. Jika kita tahu soal mekanisme keuangan, ada istilah diputihkan. Masa dari tahun sekian tidak ada langkah konkret. Jika terus menjadi catatan seperti ini, ya terus menumpuk dalam catatan laporan keuangan Pemprov DKI Jakarta," kata Mujiyono seusai rapat Komisi A DPRD DKI terkait fasos-fasum di gedung DPRD DKI, Jakarta Pusat, Jumat (19/4/2024).
Mujiyono menyebutkan BPK selalu memberikan predikat WTP pada Pemprov DKI dalam enam tahun terakhir ini. Namun BPK memberi catatan soal masalah aset Pemprov DKI Jakarta, yang salah satunya terkait kewajiban pengembang soal fasos-fasum.
"Jadi tanda tanya besar, laporan keuangan mendapat predikat WTP, tapi masih banyak problem seperti ini. Makanya, kami menginisiasi melakukan rapat kerja soal fasos-fasum. Dan ternyata kami temukan banyak hal yang menjadi pertanyaan besar," ujarnya.
Mujiyono memberi contoh satu kasus pengembang yang belum memenuhi kewajiban fasos dan fasum. Dia menyebut nama pengembang CV Harapan Baru.
"Contoh dari tahun 1971,ada CV Harapan Baru, mendapatkan SIPTT dengan luasan tanah 140 ribu meter persegi di Jelambar, Jakarta Barat untuk membangun perumahan. Kewajiban pengembangnya, kita tidak pernah tahu berapa kewajiban pengembangnya," imbuhnya.
(bel/aud)