Menteri Sosial Tri Rismaharini memaparkan sejumlah hal terkait kebencanaan mulai dari antisipasi, penanganan hingga pemulihan berbasis masyarakat di. Risma menyebut pihaknya sudah melatih 25 ribu relawan Taruna Siaga Bencana (Tagana) di seluruh wilayah Indonesia.
Hal itu disampaikan Risma dalam Forum Infrastruktur Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Forum tersebut digelar di Paris.
"Ada program Tagana Masuk Sekolah untuk melatih penyelamatan diri, evakuasi, termasuk menghadapi gempa, dan tsunami. Ada program Kampung Siaga Bencana untuk menggalang kesiapan menghadapi bencana di lingkungan yang rawan bencana," kata Risma dalam keterangan tertulisnya, Kamis (11/4/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Risma juga menyebut ada lebih dari 49 ribu pendamping sosial yang dapat membantu saat terjadi bencana dan masa pemulihan setelah bencana. Ada pula 613 lumbung sosial di 328 kabupaten atau kota yang dikelola oleh komunitas untuk menyediakan logistik yang dibutuhkan masyarakat ketika terjadi bencana.
"Di dalamnya ada persediaan makanan, pakaian, tenda, tanki air, penjernih air, dan peralatan penerangan memakai energi matahari. Cadangan logistik tersebut untuk mengantisipasi isolasi akibat rusaknya infrastruktur transportasi," ujarnya.
Risma lalu mengambil contoh penanganan krisis pangan akibat cuaca ekstrem dingin di Papua Tengah dan Papua Pegunungan. Di mana distribusi bantuan pangan dibantu oleh komunitas-komunitas gereja dan didukung Tentara Nasional Indonesia (TNI).
"Selain itu terdapat studi kasus di Wini, Nusa Tenggara Timur, bantuan infrastruktur air di daerah bencana dikelola oleh masyarakat telah berhasil meningkatkan penghasilan mereka, melalui penanaman bunga matahari serta sayuran seperti cabai dan tomat," ujarnya.
Risma menjelaskan total sumber daya manusia dari Tagana dan pendamping sosial yang mencapai 74 ribu personal. Seluruhnya terhubung secara digital dengan command center.
"Dari peringatan yang didapat dari BMKG, hanya perlu waktu 10 menit untuk seseorang menerima instruksi, dan hanya perlu waktu 30 menit bagi SDM yang menerima instruksi di lokasi bencana melaporkan kondisi sekitar yang disertai foto-foto untuk pengambilan Keputusan di command center. Solusi teknologi digital ini telah diimplementasikan melengkapi dan berintegrasi dengan solusi berbasis masyarakat," ucapnya.
Moderator forum Gillian Dorner, dari Direktorat Tata Kelola Publik, OECD bertanya ke Risma tentang kunci sukses Surabaya sebagai kota yang tahan bencana. Di satu sisi, padahal Surabaya rentan banjir karena ketinggiannya hanya 2 meter di atas permukaan laut.
Risma lantas menjelaskan kemampuan infrastruktur pengendali banjir justru datang dari partisipasi masyarakat sebagai kader lingkungan dalam mengelola sampah.
"Dengan melakukan pemilahan dan daur ulang dalam komunitasnya, telah mereduksi sampah Surabaya ke tempat pembuangan akhir (TPA) menjadi sekitar 35 persen saja per harinya. Partisipasi warga tersebut serta didukung pembangunan infrastruktur kota, telah menjadikan Surabaya sebagai kota yang bebas banjir saat itu," ujarnya.
Risma mengatakan pihaknya telah menerapkan pengalaman pelibatan komunitas tersebut menjadi strategi di tingkat nasional. Hal itu agar masyarakat dapat dilibatkan, penting untuk memahami apa yang dipikirkan masyarakat untuk menjadi prioritas dalam penanganan dampak bencana.
Sebagai contoh, ketika menangani dampak gempa di Padang, orang tidak mau meninggalkan rumahnya, karena tidak mau meninggalkan harta bendanya. Belajar dari tersebut, tenda yang dibutuhkan adalah yang berukuran untuk keluarga yang dirancangnya sendiri, bukan tenda besar yang menampung puluhan orang.
Risma lalu merancang sendiri rumah tahan gempa, yang telah menjadi model bantuan rumah pascagempa. Diharapkan rancangan rumah tahan gempa tersebut dapat ditiru masyarakat sekitar sebagai bentuk antisipasi gempa.
(eva/imk)