Tsania Marwa Cerita Terpisah dari Anak Meski Pegang Hak Asuh di Sidang MK

Tsania Marwa Cerita Terpisah dari Anak Meski Pegang Hak Asuh di Sidang MK

Haris Fadhil - detikNews
Selasa, 19 Mar 2024 16:28 WIB
Tsania Marwa Saksi Pemohon memberikan keterangan pada sidang lanjutan pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1946, pada Senin (18/3/2024) di Ruang Sidang MK. (Foto Humas MK/Ifa)
Tsania Marwa di Ruang Sidang MK. (Foto Humas MK/Ifa)
Jakarta -

Artis Tsania Marwa menjadi saksi dalam sidang uji Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1946 (KUHP 1946). Dalam sidang itu, Tsania menyampaikan kesaksian sebagai ibu dari dua anak yang diambil oleh mantan suaminya.

"Saya telah bercerai dan memegang hak asuh anak," kata Tsania dalam persidangan sebagaimana dikutip dari situs Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (19/3/2024).

Sidang tersebut digelar di gedung MK, Senin (18/3). Persidangan dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam sidang, Tsania menceritakan dia merupakan seorang ibu dari dua anak berinisial SMF yang saat ini berusia 10 tahun dan AS berusia 9 tahun. Tsania telah bercerai dengan suaminya dan pengadilan telah memutuskan hak asuh anak kepadanya.

Namun, katanya, kedua anaknya terpisahkan dari dirinya karena tertutupnya akses dari pihak mantan suaminya. Dia mengatakan Pengadilan Agama Cibinong gagal melakukan eksekusi terhadap hak asuh anak.

ADVERTISEMENT

"Hingga akhirnya pada tanggal 29 April 2021, saya dan Pengadilan Agama Cibinong melakukan eksekusi putusan hak asuh anak yang sudah berkekuatan hukum tetap. Namun, pengadilan agama Cibinong menyatakan eksekusi tersebut gagal dikarenakan pihak termohon eksekusi tidak mau mengikuti putusan hak asuh anak dan mempersulit proses eksekusi tersebut," jelas Tsania.

Tsania mengatakan sudah tujuh tahun terpisah dari anak-anaknya. Dia merasa sangat dirugikan karena selama berproses hukum harus mengeluarkan biaya untuk pendampingan hukum, biaya-biaya leges, dan biaya konsultasi lainnya.

"Kesedihan yang luar biasa, saya merasa tidak mendapat keadilan dari putusan hak asuh berkekuatan hukum tetap, dan yang paling utama saya sebagai ibu yang mencintai kedua anak saya tidak mengetahui bagaimana perkembangan mereka, dan tentunya mereka kehilangan sosok ibu kandung yang dari awal hamil saya jaga dan saya mencintai sepenuh jiwa hingga akhir hayat saya," lanjut Tsania.

Tsania mengaku sempat berusaha mencari pertolongan dan berkonsultasi ke penyidik di Bareskrim Polri Unit PPA terkait dengan peristiwa yang dialami. Dia mengaku menanyakan terkait penerapan dan pandangan hukum penyidik terkait pasal penculikan anak, yaitu pasal 330 KUHP.

Menurut Tsania, penyidik tersebut menjelaskan jika yang membawa kabur salah satu orang tua, baik pemegang hak asuh ataupun bukan pemegang hak asuh, maka pasal 330 KUHP tidak dapat diterapkan. Hal itu, katanya, karena orang yang membawa anak tersebut masih memegang status orang tua.

"Saya saat itu sungguh dalam kondisi bingung mencari tempat untuk bisa mendapat keadilan di negara ini. Banyak masukan dari pengacara bahwa pasal 330 KUHP bisa diimplementasikan. Namun faktanya justru tidak dapat diterapkan di aparat penegak hukum. Di mana keadilan ini?" ujar Tsania.

Sebagai informasi, perkara Nomor 140/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh lima ibu, yakni Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani. Kelima Pemohon merupakan para ibu yang sedang memperjuangkan hak asuh anak.

Para Pemohon menguji frasa 'Barang siapa' dalam Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1946 (KUHP 1946). Adapun isi Pasal 330 ayat (1) KUHP itu ialah:

Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun

Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK, Kamis (2/11/2023), kuasa hukum pemohon, Virza Roy Hizzal, mengatakan para pemohon memiliki kesamaan, yakni memiliki hak asuh anak setelah bercerai dengan suaminya namun tidak mendapat hak tersebut karena mantan suaminya mengambil anak mereka secara paksa.

Misalnya yang dialami Aelyn Halim. Dia mengaku tidak mengetahui di mana putrinya berada karena telah disembunyikan oleh mantan suaminya. Aelyn telah melaporkan peristiwa tersebut ke pihak kepolisian, namun laporan Aelyn tidak diterima dengan alasan yang membawa kabur adalah ayah kandungnya.

Virza menyebut negara harus hadir ketika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak. Perbuatan memisahkan dan menutup akses anak dengan orang tuanya berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak bukanlah ranah hukum privat melainkan telah memasuki ranah publik dalam hal ini hukum pidana.

Para pemohon meminta frasa "Barang siapa" dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP diberlakukan bagi setiap orang termasuk ayah atau ibu kandung dari anak, sebagai subjek hukum. Pemohon meminta tidak boleh ada pengecualian yang memberikan kekuasaan dan kewenangan mutlak bagi ayah atau ibu jika sampai terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak anak sehingga tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya.

Dalam petitum, para pemohon meminta MK menyatakan frasa 'Barang siapa' dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP yang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch - Indie (Staatsblad 1915 Nomor 732), yang kemudian berlaku berdasarkan UU 1/1946 tentang Peratoeran Hoekoem Pidana juncto UU 73/1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai 'Setiap orang tanpa terkecuali Ayah atau Ibu kandung dari anak'.

(haf/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads