detik's Advocate

Tanah Ditawar Developer Perumahan, Bagaimana Saya Menentukan Harga Jualnya?

Andi Saputra - detikNews
Jumat, 08 Mar 2024 11:13 WIB
Ilustrasi proyek perumahan (Foto: Rachman/detikcom)
Jakarta -

Pembangunan proyek perumahan terus dilakukan banyak developer. Warga pemilik tanah punya opsi menjual untuk proyek itu. Tapi, bagaimana menentukan harga jualnya?

Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik's Advocate:

Kepada Yth.

Tim Pengasuh detik's Advocate

Selamat pagi ibu/bpk ...

Mohon bantuan saran/pendapat dari ibu/bapak untuk pertanyaan saya di bawah ini:

Orang tua (ortu) saya memiliki sebidang tanah di satu desa di daerah Cileungsi/Bogor. Desa tersebut sekarang sudah menjadi perumahan elit. Pembangunan perumahan oleh developer dilakukan secara bertahap. Banyak tanah warga dibeli dengan harga di bawah NJOP/m2 atau sesuai dengan plafon yang telah ditentukan oleh developer (surat tanah warga kebanyakan girik dan AJB).

Tanah orang tua saya sudah dikonfirmasi oleh phak developer masuk dalam rencana pengembangan bisnisnya.

Pertanyaan saya:

1. Seandainya NJOP tanah di daerah tersebut sebesar Rp 900 ribu/m2 - luas tanah 600m2 dan tanah SHM, berapa kira-kira harga yang layak yang bisa orang tua saya tawarkan kepada developer?

2. Seandainya pihak developer hanya mau membeli tanah ortu saya sesuai dengan plafon mereka yang di bawah NJOP, tetapi saya menolak, apakah memungkinkan?

Demikian pertanyaan dari saya dan semoga mendapatkan respons yang baik.

Terima kasih
Salam,
Ibu Wati

Untuk menjawab pertanyaan itu, kami meminta pendapat advokat Dr (C) Alvon Kurnia Palma, SH, MH. Berikut analisanya:

Terima kasih atas pertanyaannya.

Pertanyaan Ibu Wati sederhananya adalah apakah tanah adat milik dapat diperjualbelikan dengan harga berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak?

Sebelum menjelaskan, terlebih dahulu saya akan menjelaskan sebagai berikut.

Suatu transaksi jual beli harus didasari dengan adanya perjanjian yang dilandasi dengan adanya persetujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang terdiri dari adanya para pihak, adanya kesepakatan, adanya hal diperjanjikan dan hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum. Para pihak dan persetujuan adalah syarat subjektif yang harus dipenuhi, apabila tidak maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan (vernitigbaar). Tidak adanya persetujuan (consent) dalam perjanjian jual beli tanah mengakibatkan perjanjian peralihan hak atas tanah menjadi tidak sah dan sekaligus akan bertentangan dengan syarat objektif berupa adanya hal tertentu yang dilandasi dengan sesuatu yang sah secara hukum. Ketiadaan persetujuan berkontribusi atas pemenuhan syarat situasi yang sah secara hukum. Sebab ketiadaan persetujuan menjadi penghapus syarat objektif sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 ayat (3) dan (4) KUHPerdata. Oleh sebab itu, peralihan tanah harus ada persetujuan sebagai alasan pembenar peralihan hak atas tanah.

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum landasan hukumnya terdapat dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Jo BAB VII Pasal 123 UU Nomor 11 Tahun 2020 yang telah direvisi dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pengganti UU (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022.

Intinya, tanah masyarakat yang berfungsi sosial dapat beralih untuk kepentingan umum setelah adanya persetujuan pemilik tanah dalam forum bentukan pemerintah guna memusyawarahkan penetapan lokasi (Penlok) dan adanya kesepakatan bentuk ganti kerugian dapat diganti rugi oleh pemerintah melalui Panitia Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum dengan pilihan bentuk:

a. Mendapatkan uang

b. Tanah pengganti

c. Pemukiman Kembali atau

d. Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.

Berdasarkan itu, kita dapat menyimpulkan pengambilan hak atas tanah meskipun untuk kepentingan umum harus dilandasi dengan adanya persetujuan (consent) pemilik hak sebagai manifestasi keridaan pemilik untuk melepas haknya untuk kepentingan negara sebagai kehendak yang lebih luas bukan untuk kepentingan dirinya pribadi (individual).

Pengadaan tanah untuk pembangunan perumahan oleh pengembang (developer) tidak sama dengan mekanisme pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Perbedaan yang mendasar adalah, ruang persetujuan sebagai kesepakatan pada peralihan hak atas tanah adat lebih besar dibanding dengan peralihan hak atas tanah untuk kepentingan umum. Peralihan tanah untuk kepentingan umum akan bersinggungan dengan fungsi sosial yang ada atas suatu bidang tanah untuk diserahkan untuk kepentingan masyarakat umum.

Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.

Saksikan juga 'Teman Saya Ngutang Terus Nunggak Pake Akun Saya':






(asp/haf)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork