Proses demokratisasi yang telah berlangsung di Indonesia sejak negeri ini memasuki era reformasi di tahun 1998 dinilai membawa dampak positif bukan hanya bagi masyarakat secara keseluruhan, tetapi juga bagi kelompok-kelompok minoritas. Termasuk masyarakat etnik Tionghoa yang saat ini sedang merayakan Tahun Baru Imlek.
Salah satu dari dampak positif tersebut adalah kembalinya budaya Tionghoa di ruang publik, setelah selama beberapa dasawarsa mengalami pengekangan di era pemerintahan Orde Baru yang berkuasa sejak 1966 hingga 1998 itu.
Sebagai respons dari kembalinya kebebasan mengekspresikan budaya dan identitas etnik itu, masyarakat Tionghoa diimbau untuk mengembangkan dan mempopulerkan budaya Tionghoa yang telah mengandung nilai-nilai Indonesia, dan yang telah berakar di Indonesia selama berabad-abad. Salah satu dari budaya tersebut adalah pertunjukan wayang potehi.
Hadirnya budaya Tionghoa yang bercorak hibrid dan mengandung nilai-nilai keindonesiaan di atas juga akan berdampak secara positif bagi posisi etnik Tionghoa di Indonesia.
"Karena budaya yang dirayakan tidak lagi memperlihatkan wajah budaya Tiongkok yang asing, namun budaya yang telah menjadi bagian dan mengandung nilai-nilai keindonesiaan, maka masyarakat Tionghoa yang berada di balik budaya tersebut pun akan semakin dipandang sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang utuh," tutur Ketua FSI Johanes Herlijanto dalam keterangannya, Sabtu (23/2/2024).
Johanes menyampaikan itu dalam diskusi Cap Go Meh bertema "Wayang Potehi: Budaya Tionghoa dalam Keindonesiaan" yang diselenggarakan bersama oleh Forum Sinologi Indonesia (FSI) dan Sanggar Budaya Rumah Cinta Wayang (Cinwa).
Pemerhati Tionghoa yang mengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan itu pun berpandangan bahwa persepsi masyarakat terhadap keindonesiaan etnik Tionghoa akan semakin menguat. Hal itu terjadi seiring dengan berkembangnya budaya Tionghoa yang berwajah Indonesia.
Dalam acara diskusi yang sama, Ahli Kebudayaan Tionghoa dari University of Sydney, Australia Profesor Josh Stenberg, menyampaikan hasil penelusuran dan penelitiannya yang memperlihatkan bagaimana wayang potehi. Sebuah pertunjukan wayang dengan sarung tangan yang telah menjadi populer di Provinsi Hokien di daratan Tiongkok pada abad-abad yang lalu, bertransformasi menjadi bagian dari budaya dan masyarakat Indonesia.
Pertunjukan tersebut dibawa oleh para imigran asal Tiongkok ke Asia Tenggara sekitar akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20. Di Indonesia, menurut Profesor Stenberg, pertunjukan wayang tersebut pertama kali berkembang di Semarang.
Yang menarik, dalam pandangan ahli Tionghoa yang fasih berbahasa Mandarin itu, wayang potehi telah mengalami proses 'indigenisasi,' (pempribumian) yaitu sebuah proses yang menjadi budaya yang awalnya berasal dari luar Indonesia menjadi sebuah budaya yang berakar dan mengandung unsur-unsur lokal di Indonesia.
"Orang-orang dari Taiwan dan Daratan Tiongkok, yang merupakan negeri asal wayang potehi, akan mengalami kesulitan untuk memahami pertunjukan wayang potehi di Indonesia," tutur Profesor Stenberg.
Pada sisi lain, menurut beliau, di antara orang-orang yang terlibat dalam pertunjukan wayang potehi, termasuk mereka yang mempertunjukannya, terdapat sejumlah besar orang-orang non-Tionghoa. Oleh karenanya, Profesor Stenberg berpandangan bahwa wayang potehi telah menjadi fenomena 'pasca etnik,' karena meski berasal dari Tiongkok, ia tak lagi dipertunjukan menggunakan bahasa Tionghoa, dan telah mengandung berbagai unsur yang bukan lagi Tionghoa.
"Potehi telah menjadi sepenuhnya Indonesia. Pertunjukan ini bukan menjadi duta bagi budaya etnik Tionghoa, tetapi sebagai simbol dari budaya antar-etnik," tuturnya.
Sementara itu Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Dwi Woro Mastuti menjelaskan bahwa wayang potehi merupakan salah satu seni pertunjukan wayang Peranakan Cina Jawa, yang biasanya digelar di berbagai klenteng di pulau Jawa sebagai bagian dari kegiatan ritual umat Kong Hu Cu.
Menurut pendiri Sanggar Budaya Rumah Cinwa itu, potehi biasanya mengisahkan berbagai mitos dan legenda asal Tongkok, seperti Sie Jin Kwi, Sam Kok, San Pek Eng Tai, dan Li Si Bin. Yang menarik, tutur wanita yang akrab disapa sebagai Ibu Woro itu, kisah-kisah di atas justru ditulis dalam aksara Jawa. Hal ini membuat Dia mendukung pandang bahwa potehi memang bukan lagi budaya Tionghoa semata, namun telah menjadi budaya Indonesia.
"Potehi sudah bagian dari bangsa Indonesia lho, bagian dari keragaman menjadi Indonesia. Karena bahasanya Indonesia, pemainnya Indonesia, pengrajinnya orang Jawa, pendukungnya anak anak muda Indonesia," tuturnya.
Oleh karenanya, Woro dan komunitas Rumah Cinwa bertekad untuk terus melestarikan wayang potehi. "Karena ini merupakan bagian dari upaya merawat kebhinekaan Indonesia," pungkasnya.
Dalam seminar di atas, hadir pula Afdal Ridho Arman, seorang sutradara muda dan praktisi film yang karyanye mengenai potehi ditayangkan dalam seminar di atas. Acara seminar diakhiri dengan sebuah imbauan dari FSI, agar masyarakat Indonesia mempertahankan, dan bahkan meningkatkan, pandangan bahwa budaya-budaya Tionghoa, bukan hanya potehi, adalah bagian dari bangsa Indonesia yang harus kita terima dan hargai.
Pada sisi lain, masyarakat Tionghoa, bersama-sama dengan komponen bangsa lainnya, perlu untuk terus mengembangkan dan mempopulerkan budaya Tionghoa yang telah berakar di Indonesia, dan yang telah mengandung nilai-nilai keindonesiaan. Perayaan budaya semacam ini perlu dikedepankan dan diutamakan, dibandingkan dengan perayaan budaya yang masih terlihat asing, yang justru memberi ruang bagi negara lain (termasuk Tiongkok) untuk menancapkan pengaruh kuasa lunaknya di Indonesia.
(mpr/ega)