Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) mengatakan pemerintah Indonesia turut mendukung resolusi PBB dalam memerangi Islamophobia. Sebagai bukti keseriusan dukungan tersebut, lanjut HNW wajar bila Indonesia memiliki UU Anti-Islamophobia.
Menurutnya, UU ini diperlukan agar tidak terjadi pengekangan dan perlawanan di masyarakat yang dapat menimbulkan terjadinya perilaku pengadilan jalanan yang inkonstitusional dan tidak sesuai dengan semangat resolusi anti-Islamophobia. Oleh karena itu, kata HNW, perlu diupayakan penyusunan dan pengusulan RUU Anti-Islamophobia baik oleh pemerintah, DPR maupun masyarakat.
"Kami sangat mendukung adanya kajian untuk menghadirkan Rancangan Undang-Undang Anti Islamophobia sebagaimana dilakukan oleh MUI maupun masyarakat kampus seperti Universitas Muhammadiyah Prof HAMKA hari ini. Karena posisi Indonesia yang bukan hanya mendukung Hari Internasional Melawan Islamophobia, tapi juga sukses melobi banyak negara untuk mendukung, maka wajar bila di Indonesia juga dibuat UU Anti Islamophobia, supaya tidak terjadi perilaku pengekangan maupun perlawanan terhadap laku Islamophobia di lapangan yang tidak sesuai dengan aturan hukum, inkonstitusional, dan tidak sesuai dengan spirit hadirnya resolusi PBB anti Islamophobia tersebut," kata HNW dalam keterangannya, Jumat (19/1/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini disampaikannya saat menjadi panelis Orasi Kemanusiaan 'Islamophobia, Duri Dalam Peradaban yang disampaikan Ketua Hubungan dan Kerjasama Internasional MUI Pusat Prof. Dr. Sudharnoto Abdul Hakim, MA di Aula AR Fachrudin Fakultas Ekonomi dan Bisnis Uhamka, Jakarta, Kamis (18/1).
Lebih lanjut, HNW menjelaskan saat ini UU Anti-Semitism sudah diberlakukan di beberapa negara sehingga wajar bila UU Anti Islamophobia dihadirkan. Saat ini, Senat Amerika, sedang mengupayakan untuk menghadirkan satu RUU tentang Anti-Islamophobia. Beberapa negara lain, seperti Kanada, juga sedang mengupayakan hal yang sama, namun sampai sekarang upaya tersebut. belum berhasil.
"Kalau Indonesia memulai penyusunan RUU Anti-Islamophobia, dan kemudian berhasil, saya kira ini merupakan sebuah karya yang luar biasa dari MUI, Pemerintah, DPR dan pihak-pihak lainnya. Tujuan RUU ini adalah untuk menghadirkan keadilan, harmoni, kerukunan, toleransi, gotong royong, ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah basyariyah. Kita menunggu RUU Anti-Islamofobia yang dibuat MUI dan pihak-pihak yang lain, dan kami siap memperjuangkannya di DPR," paparnya.
Dalam orasi kemanusiaan ini, Sudharnoto memaparkan Islamophobia dari sisi sejarah, perkembangannya, realitas kekinian dalam beragam bentuknya baik dari jenis-jenis Islamophobia maupun dari aktor-aktornya. Ia juga menjelaskan upaya yang mesti dilakukan sekarang dan ke depan.
HNW menilai Islamophobia bukan lagi 'duri peradaban dunia', melainkan racun peradaban dunia. "Islamophobia ini adalah racun yang menghancurkan peradaban dunia," tegasnya.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi PKS ini pun mengatakan pada tahun 2022, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memutuskan secara aklamasi tanggal 15 Maret sebagai Hari Internasional Melawan Islamophobia, atau combating against Islamophobia. Indonesia cukup berperan dengan keluarnya resolusi PBB tentang Hari Internasional Melawan Islamophobia.
"Salah satu sebab mengapa terjadi aklamasi dukungan terhadap resolusi Sidang Umum PBB yang menghasilkan Hari Internasional Melawan Islamophobia adalah peran diplomasi dari Kementerian Luar Negeri. Indonesia bisa meyakinkan lebih dari 11 negara untuk menerima resolusi ini. Kementerian Luar Negeri, bahkan Kementerian Agama menyatakan mendukung adanya Hari Melawan Islamophobia," ungkapnya.
Dalam konteks Indonesia, lanjut HNW, memang sudah seharusnya bila tidak terjadi Islamophobia. Di Indonesia, yang terjadi sebagaimana disebut Sudarnoto adalah soft Islamophobia.
HNW menyampaikan salah satu bentuk Islamophobia dalam konteks politik adalah mengkampanyekan ketakutan. Ia pun mencontohkan bentuk Islamophobia saat Pilgub DKI Jakarta tahun 2017.
Saat itu, sambung HNW, beberapa buzzer mengkampanyekan Jakarta akan terjadi radikalisme, terorisme, intoleran seperti Suriah bila Anies Baswedan memenangkan dalam Pilgub DKI Jakarta tahun 2017.
"Itulah bentuk Islamophobia. Kita menyaksikan semuanya ternyata tidak terbukti," tegasnya.
HNW menambahkan, bentuk Islamophobia yang lain adalah banyaknya Perda yang dihapus oleh Kementerian Dalam Negeri dengan alasan Perda Syariah. Padahal, Perda Syariah sudah melalui mekanisme yang dibenarkan UU dan mengikuti tradisi demokrasi. Misalnya musyawarah terbuka di tingkat daerah dan melibatkan partisipasi masyarakat, gubernur, bupati, walikota dan partai-partai yang ada.
"Perda itu dihapus dengan alasan karena syariah. Sekalipun disetujui dan bahkan sudah diundangkan. Itu jenis Islamophobia yang menggelisahkan, padahal mestinya tidak terjadi, karena di Bali juga diberlakukan aturan yang khas Hindu seperti soal hari Nyepi, dan tetap bisa diberlakukan. Agar tidak terjadi keresahan dan agar diamalkan lah keadilan sesuai Pancasila (sila ke 2 dan ke 5) Islamophobia penting dikoreksi melalui hadirnya UU yang disepakati," tutupnya.
Selain Hidayat Nur Wahid, panelis Orasi Kemanusiaan ini adalah Duta Besar Muhsin Syihab, Ph.D (Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga kementerian Luar Negeri), Dr. Desvian Bandarsyah, M.Pd (Wakil Rektor II Uhamka), dan Ir. H. Agustanzil Sjahroezah, MPA (Wakil Presiden Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam).
(prf/ega)